28. Dua Puluh Delapan (S2)

74 4 0
                                    

Fokus : Solbin, Jungkook

Solbin menutup rapat pintu rumahnya. Jungkook dan Minah sudah pulang sejak tadi. Tangan Solbin bergetar hebat, perasaannya berkecamuk, hatinya terasa perih lagi dan napasnya tak beraturan. Ia tergopoh-gopoh menuju nakas kamarnya. Membuka lacinya dengan terburu mengambil sebuah botol obat kecil yang sudah menemaninya dengan setia selama dua tahun terakhir. Botol obat itu dibukanya dengan bergetar bahkan beberapa butiran obatnya berjatuhan di lantai. Ia mengenggak obat itu dengan cepat. Beberapa saat kemudian akhirnya ia dapat bernapas dengan normal lagi.

Beberapa saat ia terdiam, masih menormalkan pernafasannya.

Solbin berdiri dari duduknya dan membuka sebuah kotak yang selalu ia buka setiap malam sebelum tidur. Kotak itu berwarna hitam. Ada beberapa lembar foto dan juga sebuah cincin. Solbin tidak kuasa menahan air matanya. Orang-orang yang selama ini hanya bisa ia lihat di dalam foto itu tadi baru saja mendatangi rumahnya. Walau kurang Junhoe.

"Pasti banyak sekali yang aku lewatkan selama dua tahun ini kan, Minah?" Bisiknya.

"Aku belum menyiapkan hatiku sama sekali dan kalian malah datang tiba-tiba. Aku..."

"Aku tidak tahu apa harus senang atau sedih sekarang."

"Aku hanya berharap kalian tidak pernah tahu mengenai keadaanku selama ini."

Semenjak pindah ke Busan, Solbin tidak pernah hidup dengan tenang. Bayangan masa lalu selalu datang menghampirinya. Ia sempat depresi dan perlu bantuan psikiater hingga akhirnya ia rutin mengkonsumsi obat penenang. Obat itu membantunya mengobati masa lalunya bersama Yugyeom. Luka yang Yugyeom tinggalkan benar-benar berpengaruh pada hidupnya. Tidak mudah melepas apa yang selama beberapa tahun ini menjadi candu dan kebiasaan.

Semakin Solbin memaksakan melupa maka semakin sakit pula dirinya. Sejak awal seharusnya ia merelakan secara pelan-pelan hingga ia bisa menyembuhkan lukanya sembari merangkak pergi.

...

Solbin kembali dikejutkan oleh kedatangan Minah pagi-pagi. Ia membawakan sarapan dan menawarkan untuk membantu di restoran.

"Tidak perlu repot-repot, Min. Memang kamu tak sibuk?" Solbin mencuci peralatan makan.

"Tidak. Akukan sekarang lebih banyak bekerja di rumah." Minah yang membantu menaruh peralatan yang sudah bersih di rak.

"Seharusnya kamu tidak perlu repot sampai mengantar sarapan ke sini."

"Memangnya tidak boleh? Kitakan sudah lama tidak makan bersama."

Solbin tersenyum, "Boleh kok." Sepertinya ia pandai menyembunyikan perasaannya.

"Makasih, ya." Lanjutnya.

"Selalu sama-sama."

Sebentar tidak ada pembicaraan.

"Bin, pulang ke Seoul yuk." Ajak Minah.

Solbin menoleh, "Kenapa tiba-tiba?"

"Apa kamu tak merindukan Seoul? Apa kamu tak rindu Junhoe? Lalu apa kamu tidak ingin menjelaskan semuanya pada orang tua Jungkook? Apa kamu tidak kasian pada mereka?" Tanya Minah panjang lebar.

Solbin terdiam. Benar ia sangat merindukan Junhoe. Ia juga sangat merasa bersalah pada kedua orang tua Jungkook maupun Eunha, tapi ia juga takut untuk kembali pada masa lalunya. Ia takut rasa sakit itu memperparah keadaannya sehingga merepotkan orang lain. Ia juga tidak sanggup bertemu kedua orang tua Jungkook. Bagaimana kalau mereka membenci Solbin?

"Bin."

"Bagaimana kalau mereka semua membenciku? Lagipula Junhoe juga sudah punya Rose. Dan Jungkook... masa dia tidak punya kekasih."

Benang Merah (97 Line Story) | ✔Where stories live. Discover now