42- 80 juta

1K 52 2
                                    

Titi terbangun dari tidurnya. Seketika kepalanya sangat sakit bukan main. Beberapa kunang-kunang masih setia memutari kepalanya, begitu bayangan di kepala Titi. Kejadian malam kemarin tidak sama sekali ia ingat. Bahkan mengenali wajah ustad Adan saja ia sangat lupa nyaris tidak ingat.

"Kampret kepala gue sakit!" ringisnya.

"Oh sudah bangun?" tanya seseorang yang langsung melangkah masuk berjalan ke arah tempat tidur Titi.

"Eh Aura negatif! Kenapa lo ke sini ha?" Titi mencoba memposisikan dirinya untuk duduk. Sesekali ia memijat keningnya yang sangat terasa sakit.

"Aura negatif?" suara lembut seseorang itu berasal dari suara Aura. Anak pak Kiai. Dia menatap heran Titi yang telah menyebutnya dengan sebutan 'Aura negatif'.

"Iya! Elu itu pembawa aura negatif di kehidupan gue! Udah pergi sana lu ato lima hari kedepan gue buat lo sengsara!" Titi membuat Aura terkikik pelan. Entah kenapa ia begitu.

"He malah ketawa!" celoteh Titi.

"Eh kamu ya bisa aja kalo ngelawak." Aura terkikik kembali. Ternyata ejekan Titi tidak mudah melukai hatinya. Titi pun keheranan.

"Pergi ato-" Titi hampir naik pitam.

"Sekarang mandi, jam sembilan udah nih, cewek kok gitu, abis itu pergi ke ruang Pak Kiai. Husnul udah ada di sana dari tadi" Aura berjalan memunggungi Titi daru arah depan meninggalkan dia. Lagi-lagi Titi dibuat keheranan.

"Eh kok Husnul ada di rumah Pak Kiai?" Titi membenarkan posisi untuk berdiri mencegah kepergian Aura namun gagal. Dengan cepat punggung Aura yang dibalut hijab panjang lebar menutupi hingga batas lutut dengan cepatnya pergi hingga tidak terlihat, entah kemana dia pergi.

"Eh Aura negatif!" pekik Titi. Sayangnya, Aura tidak menghiraukan Titi yang sibuk meneriaki namanya.

****
Titi sampai ke dalam rumah pak Kiai yang dipenuhi berbagai ukiran kalighrafi dan photo-photo para ulama dan para pejuang islam lainnya di sana. Matanya terbelalak saat melihat Husnul yang terdiam menunduk menggunakan hijab biru yang menutupi dada dan perut. Hijabnya cukup panjang dan tidak sama dengan hijab Titi yang menutupi rambut saja tidak apalagi menutupi dada. Lagi-lagi Titi heran dan bingung dengan aksi Husnul. Ema dan Wawa entah di mana. Kemungkinan sedang melakukan piket masak dengan santri yang lain.

"Eh Husnul!" Titi membuka sendal yang ia pakai lalu memasuki rumah pak Kiai yang sedang ada pak Kiai, Ummi istrinya pak Kiai dan seorang laki-laki yang mungkin sama umurnya dengan Titi tapi Titi lupa dia siapa. Siapa lagi kalau bukan ustad Adan.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu" ucap ustad Adan sedikit menyindir Titi yang masuk tanpa mengucapkan salam.

"Eh sorry, sorry. Assalamualaikum" Titi duduk di sebelah Husnul yang tengah terduduk diam sambil menunduk di sana. Gerak-gerik Husnul mengherankan Titi, duduk dengan manis, menggunakan hijab dan gamis. Cukup mengherankan!

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu!" jawab mereka. Titi mulai curiga, pasti akan diintrogasi! Itu dugaanya. Ya, dia benar!

"Duduk, Teh" silakan Ummi. Titi pun duduk di lantai sama seperti mereka.

"Masih ingat dengan saya?" tanya ustad Adan sedikit menyinis.

"Engga" jawab Titi jujur.

"Gimana enak malem tadi maboknya?" sindir ustad Adan.

"Wah gila nih orang bisa tau!" batin Titi. Sesungguhnya Titi tidak ingat sama sekali apa yang ia lakukan tadi malam.

"Jangan suka ngejek orang dalam hati" celetuk ustad Adan.

"Lah elu peramal?" celetuk Titi sebila mengarahkan telunjuknya ke arah ustad Adan. Dia terkikik pelan melihat tingkah Titi yang menyebut dirinya 'peramal'.

"Oh ya, ini Adan dia adalah santri di sini dulu dan sekarang Abi sudah mempercayai dirinya untuk memegang pesantren ini. Jadi ustad Adan ini akan mengajar di pesantren setelah kemarin dia pulang dari Jeddah." pak Kiai menjelaskan tentang ustad Adan sekilas dengan nada suara yang lembut sama halnya seperti Ummi dan anaknya, Aura.

"Abi, gue sama Husnul kok dipanggil kesini" tanya Titi tanpa sopan santun.

"Coba kalo sama orang tua itu beradab, jangan ngomong pakai 'gue' gitu." tegur ustad Adan langsung.

"Ck! Peramal diam lo!" celetuk Titi kesal.

"Abi mau minta penjelasan Titi dn Husnul secara langsung." pak Kiai membuat Titi sedikit penasaran. Perasaan dia tidak melakukan apapun, begitu pikiran Titi.

"Maksudnya?" Titi mengerucutkan dahinya.

"Kamu malam tadi mau kabur? Kamu mabuk?" tanya Ummi pada Titi.

Jlep!
Sedikit Titi ingat kalau malam kemarin ia mau kabur tapi dia sedikit lupa kalau dia mabuk.

"Saya memang mau kabur, Bi" jujur Titi dengan wajah santai. Tidak takut kalau di sedang berhadapan dengan pak Kiai.

"Kamu kenapa mabuk?" tanya pak Kiai lagi dengan tidak berhentinya mengintograsi.

"Mabuk?" suara Titi memelan.

"I iya, saya mabuk" Titi mulai menundukkan kepalanya. Jika maminya tahu, pasti semua kebutuhan dirinya dari mulai, make up bermerek, sabun bermerek mahal, kartu ATM, baju-baju brendit dan semua kebutuhan pokoknya pasti akan dicabut. Dia takut!

"Bi please jangan ngadu ke Mami sana Papi  ya. Pak Kiai mau uang berapa? Detik ini saya kasih 80 juta, cukup? Atau kurang?" Titi gemercik takut apabila mami dan papinya akan mengambil semua yang menjadi keutamaan dirinya apalagi kalau tiket treveling kelima negara diambil. Pasti membuat dirinya pusing tujuh keliling bahkan lebih.

"Ti, Ummi ingatin. Titi itu memang punya segalanya, tapi segalanya itu sesungguhnya milik Allah, sayang. Jadi Titi harus memanfaatkan itu sebaik mungkin." tegur Ummi pelan dengan ciri khas suara lembutnya.

"Titi! Kamu kira kesalahan bisa dibayar dengan uang? Tidak!" tambah ustad Adan.

"Dasar ya nih peramal. Entar tunggu aja ya, gue ajak pacaran lu! Tunggu tanggal mainnya!" celetuk Titi di batinnya.

"Abi hanya mau Titi jujur. Titi mau jadi baikkan? Jadi Titi harus menjalani semua peraturan di pesantren ini" ucap pak Kiai.

"Eleh gue aja masuk terpaksa kale. Gue masuk supaya Mami gue ngasih tiket keliling negara aja kale!" cerca Titi dalam hati.

"Gini, sebagai hukuman, kamu dan Husnul harus membersihkan tujuh toilet putri" ucap ustad Adan selaku pengganti pak Kiai sekaligus kepala sekolah baru di pesantren ini.

"What! Tujuh?" Titi menatap sinis ustad Adan.

"Mau nambah? Kalo nego tambah lagi yah" jahil ustad Adan.

"Udah, Ti. Kita terima aja" ucap Husnul lembut.

"Eh sejak kapan lu jadi kayak gini?" Titi menegurnya. Mengherankan! Itu yang dia rasakan pada Husnul sekarang.

"Kalian boleh pergi" ucap ustad Adan.

"Assalamualaikum, Ummi, Abi, Ustad Adan" pamit Husnul dan menarik Titi keluar dari rumah pak Kiai.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu" jawab mereka.

****

Hai maaf ya telat soalnya kuota ngajak perang Wkwkw.

Jangan lupa votenya.

Thanks all

Salam manis dari author yang gaje ini wkwkwk

Pesantren? Oh NO!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang