BAB 4 - Siapa Yang Jahat?

13.1K 564 6
                                    

Pada akhirnya aku duduk di sini, di depan bibi dan pengacara milik keluarga Pras. Memilih tanggal pernikahan, yang menurutku sangat tegesa-gesa.

Entah kenapa Tuhan seolah membuat skenario terburuk dalam hidupku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena mataku terlalu kosong untuk menangkap pembicaraan. Dan kupingku terlalu berdenging menerima kalimat yang tidak mau aku terima.

"Baik, Dahlia, kita sudah sepakat dengan semuanya. Jadi, klien saya akan segera melunasi biaya rumah sakit milik suami anda."

Hanya itu yang kudengar, sebelum pengacara Pras pergi meninggalkan kantin rumah sakit. Mataku yang kosong tak sengaja membidik Pras yang melihatku, dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Barangkali meledek, atau dia menyesal akan menikah dengan aku.

"Jangan melamun," katanya.

Sementara kulihat bibi meninggalkan kami. Ya, sebagai perempuan dewasa aku juga mengerti aku perlu sedikit pendekatan, dengan pria yang sudah naik pangkat menjadi calon suami.

"Kita sepakat tidak ada pertunangan, kan?" Aku menyipitkan mata, memilih tidak menjawab. "Kamu sih ngelamun mulu, ketinggalan, kan."

Bodo amat. Aku memutarkan bola mata, dan memilih berdiri kemudian meninggalkan Pras.

"Hei, sopan sedikit, ini calon-mu loh. Kan kamu yang mau." Aku masih memilih diam. Dan memang untuk saat ini diam adalah hal terbaik.

Sampai didepan pintu kantin, dia mengusap kepalaku, "Aku balik kerja ya, kamu jangan nangis terus." Dan sekarang dia bertingkah seperti orang yang sedang mencintaiku.

Aku mengembuskan napas kasar dan melengos. "Hei, mau salim nggak?!" Teriaknya, aku tahu dia sedang meledek. Karena aku mendengar tawa renyah pria itu.

Memang risiko aku sih, tapi kesel juga lama-lama. Aku berjalan terus menuju ruangan paman. Paman memang sudah dibawa ke ruang oprasi sejak aku mengobrol dengan  Pras, karena Pras langsung menelpon rumah sakit untuk segera ditindak.

Aku tahu dibalik ini ada sesuatu. Aku tahu, tak apa Pras tidak mengatakannya, karena rahasia pelan-pelan akan terungkap. Tidak perlu repot-repot mencari tahu. Sesuatu yang jelek lama-lama akan terungkap, jadi Bella yang cantik hanya perlu diam dan menurut.

Sedikitnya hatiku lega, karena pikiranku sendiri.

***

Hari berganti, aku berangkat mengajar seperti biasa. Hari ini kelasku memang agak siang, tapi aku tetap harus berangkat pagi. Entahlah, aku merasa seperti anak sekolah lagi.

Melihat siswa-siswi bercengkrama, hatiku selalu menghangat.

"Hei kenapa melamun?" Tanya pak Bram.

Aku tersenyum. "Enggak sih, hanya lagi ada yang dipikirin aja," jawabku.

Bram mengangguk. "Butuh teman nggak?"

"Teman apa?"

"Ya kali aja ibu mau cerita ke saya," katanya diiringi dengan cengiran.

"Saya juga nggak tahu mau cerita dari mana, pak," jawabku.

Sementara Bram hanya tersenyum, kemudian memandangiku. Aduh, jadi salah tingkah nih, kalo diliatin cowok ganteng.

"Pak, saya mau sarapan. Bapak mau ikut?" Tanyaku memecah keheningan.

Matanya berbinar, aduh indahnya, sadar Bell, kamu tuh mau kawin. Jangan ganjem-ganjen. Mengingat fakta itu, hatiku murung langsung.

"Kemana?"

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang