BAB 27 - mess

9.3K 359 4
                                    



PRAS

Satu hal yang saat ini memutari pikiranku. Yaitu, dengan santainya pak Restu berhadapan denganku, dia membawa secangkit teh, dan menaikan kakinya ke kaki satunya, melipat tangan di dada.

Seolah aku adalah kliennya, atau seolah dia adalah klienku. Atau seolah... aku adalah bawahannya. Entah apa yang ada di balik pikiran 'ayah mertuaku' ini.

Kami duduk di sofa panjang, di kantor milik orang tua pak Restu. Dia menyesap tehnya, "jadi gimana Bella? Dia sudah mau bicara dengan saya?" Dengan santainya dia melemparkan pertanyaan seolah istriku yang membuat salah. "Saya senang hati ingin mengobrol dengan putri saya," tambahnya.

Untuk apa sih sebenarnya aku ke sini? Repot-repot datang dengan kepala dingin, namun sambutannya malah seperti ini. "Maaf, pak, bukannya Bella yang harus datang dan berbicara kepada bapak. Harusnya pak Restu menemui Bella, dan meminta maaf... seperti yang ibu saya lakukan..."

Dia memandangku, "Petiya, dia kan yang melimpahkan semua masalah ini padaku? Seolah dia tidak sadar, bahwa semua masalah berawal dari dia yang melarikan diri."

Aku mengerutkan dahi. Apa pak Restu tidak menangkap apa yang tengah aku bicarakan. "Ibu saya tahu dia salah, maka dari itu dia mendekati Bella untuk menebusnya? Sedangkan langkah bapak untuk berdamai dengan Bella? Maaf saya tidak menemukannya.."

"Makannya Bella kesini, saya bisa jelaskan secara rinci..."

"Bahwa bapak menikah di negara lain bersama tunangan bapak, dan meninggalkannya di sini?" Tanyaku mulai kesal. "Bella sudah tahu sejak kecil perihal itu," tambahku.

"Ya sudah, untuk apa kamu kemari?" Tanya Pak Restu.

Iya. Untuk apa aku kemari. Aku sangat menyesal. Dia benar-benar ayah yang tidak punya hati. Aku merendam semua emosiku, mencoba untuk mensugesti diriku bahwa di depanku ada orang tua yang kesulitan mendengar.

"Jadi apa bapak tidak punya niatan meminta maaf kepada Bella? Atas semua yang bapak lakukan?" Tanyaku dengan penuh penekanan.

Dia menunduk sejenak. Lalu kembali menatapku, "untuk apa Pras? Semuanya sudah lewat. Kesalahan saya terlalu besar. Saya juga tidak yakin Bella memaafkan saya..."

Sekarang aku tahu, dari mana sikap Bella yang sulit meminta maaf, merasa benar sendiri. Menyalahkan orang lain. Ya, gen itu berasal dari pria di depanku ini.

"Saya bukan orang yang bersujud-sujud meminta ampunan. Apabila Bella berkenan mendengarkan cerita saya, dan dia menyimpulkan sendiri, dan dia tidak membenci saya, saya bersyukur," katanya. "Tapi apabila dia masih benci, itu terserah dia. Itu hak dia."

Semakin pusing saja kepalaku. "Jadi bapak tidak berkeinginan untuk datang kepada Bella terlebih dahulu dan menjelaskannya?"

"Saya tanya sekali lagi, untuk apa?"

Sudah cukup. Dia memang bebal. Aku heran kenapa ibu duiu bisa berpikir untuk menjalin kasih dengan pria bebal seperti pak Restu.

"Baik, pak, saya sudah bisa menyimpulkan, bahwa bapak memang tidak punya itikad baik untuk berdamai dengan putri bapak."

Aku berdiri dan tanpa kata aku meninggalkan kantor pak Restu. Di dalam mobil aku kesal bukan main pada ayah istriku ini.

Seumur hidupku aku baru tahu apa yang namanya sia-sia. Yaitu berbicara dengan orang yang bebal.

Dering telfon menyadarkanku. Aku segera mengambil ponsel dan mengangkatnya, Bram... atau mungkin Bella. Aku tekan tombol hijau.

"Hallo?"

"PRASSS! BELLA PRAS!" Telingaku disambut  dengan suara Bram yang panik. Yang membuatku ikutan panik.

"Tenang, Bella kenapa?" Tanyaku mencoba tenang.

"BELLA NGGAK ADA. DAN RUMAHNYA, RUMAH YANG BELLA TEMPATIN KEBAKARAN..."

Aku langsung meninju stir mobil. "Lo udah cari di rumah warga? Barang kali dia dislametin warga?" Tanyaku.

"Gue udah tanya, mereka nggak liat. Bahkan mereka nggak tahu ada yang lagi tinggal di sini.."

"Gue ke Lembang sekarang!"

Bella. Ya ampun. Kenapa semua semakin runyam. Sembari menyetir aku mencoba untuk menelpon Bella. Namun nomornya tidak bisa dihubungi.

Aku tidak berpikir panjang. Aku langsung menancapkan gas menuju Lembang. Pikiranku kini berkecamuk. Aku pikir dia akan aman di sana. Nyatanya, jauh dariku malah membuatnya semakin kacau.

Aku benar-benar menyesal tidak menyusul dihari pertama aku tahu dia di sana. Aku menyesal membiarkan Bram yang terlebih dahulu menemui Bella. Astaga. Pikiranku sudah sangat kacau. Aku sudah tidak berpikir jernih.

Bell dimana kamu sekarang, sayang.

Suara dering telfon. Rumah. Aku

mengangangkatnya. "Hallo?"

"Tuan, nyonya masuk rumah sakit..."

Kalimat itu membuatku menginjak rem secara mendadak. Air mata yang aku tahan selama ini keluar juga. Segala emosi yang kutahan akhirnya keluar. Aku menangis sejadi-jadinya.

Bagaimana mungkin ini terjadi secara bersamaan. Mama masuk rumah sakit. Bella yang hilang, rumahnya terbakar. Aku harus apa?

Entah yang mana yang harus kudahulukan. Entah yang mana yang harus aku datangi terlebih dahulu. Keduanya sama-sama membutuhkanku. Aku mencoba mengendalikan pikiranku. Mencoba mensugesti semuanya akan baik-baik saja.

2 AGUSTUS 2019

DIKIT LAGI TAMAT INI.

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang