BAB 22 - cry

8.7K 386 16
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Saat sadar hal yang aku sadari adalah tangan pria yang menggenggamku erat-erat. Itu Pras. Aku tahu. Hal yang kedua ku lihat adalah bibi yang sedang memakan roti.

Dan Ara yang menonton televisi. Aku berada di kamar inap. Sebelum sesadar ini aku rasa, aku sudah sadar berada dirumah sakit dengan keadaan perut yang melilit. Sebelum dokter menyutikan obat yang kemungkinan adalah bius. Kulihat jam, pukul satu dini hari.

"Bi.." panggilku.

Pras yang menatap lenganku langsung menoleh. "Kamu mau apa sayang?" Tanyanya.

"Bi, aku haus..." panggilku sedikit kencang walau dengan suara lemah. Bibi langsung terlihat berdiri. Namun Pras yang membawa gelas.

"Ini minum..." dia membantuku bangkit. Aku hanya menurut, mungkin karena tubuhku terlalu lemah untuk menolaknya. "Kamu mau apalagi?" Tanyanya.

Dan aku tidak menjawab. Dia mengelus perutku pelan. "Dedek nggak apa-apa kok," katanya. Walau aku tak bertanya. Dan aku tahu dis sangat kuat. "Jangan banyak gerak dulu ya sayang..."

Aku hanya diam. Bibi menatapku dengan rasa kasihan. Takku lihat ibu "mertuaku" disini. Baguslah. Aku tak ingin memikirkan apapun saat ini.

"Jangan mikirin yang lain dulu, ya, pikirin sehat dulu..." aku tidak menjawab. Rasanya bibirku masih sekelu sebelum aku pingsan. Kulihat Ara yang memerhatikanku.

"Ra kamu disini dong," pintaku. Ara menatap Pras terlebih dahulu. Pras mengangguk. Ara bangkit dari duduknya, menghampiriku. "Kamu temenin aku di sini ya," kataku. Ara hanya mengangguk. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat Ara yang kebingungan dan merasa nggak enak pada Pras.

"Mas di sana ya," katanya menunjuk sofa, yang sama sekali tidak aku tengok. "Bi pulang aja, biar aku sama Ara yang jaga..."

"Bi jangan pulang ya, disini aja, jagain aku..." pintaku.

Pras langsung diam. Entahlah, aku sedang membuat keberadaanya disini tidak berguna.

"Ra, om Rafi mana?" Tanyaku.

"Tadi sih keluar, cari makan, sampe sekarang belum balik juga... halah palingan juga ngopi sambil ngerokok." Aku mengangguk mendengar jawaban Ara.

Dia terlihat sudah ngantuk. "Sini Ra, tidur samping aku aja." aku menggeser sedikit badanku. Untung saja kasurnya cukup luas. Yaiyalah uang Pras. Maksudnya, "uangku". Aku mendengus lagi mengingatnya.

Ara naik ke ranjang dengaku. Sementara Pras memerhatikanku sesekali mercuri pandang. Padahal aku tak akan ke mana-mana dengan selang infus yang menempel.

"Haduh! Mas Rafi tuh ke mana sih lama banget..." kata bibiku mendumel.

"Bi kalo laper cari makan aja nggak apa-apa kok..." ya ini menurutku saja dia lapar.

"Bibi itu bukan laper. Om kamu masa beli nasi goreng aja sampe dua jam. Lebay banget..."

Aku hanya mengangguk-ngangguk setuju. "Udahlah mah, papa mungkin lagi ngopi..." bela Ara. Bibi masih mendumel.

Pras langsung berdiri dan berjalan ke arahku, "Kamu laper nggak yang?" Tanyanya. Aku hanya diam. "Dedek, dedek laper nggak?" Sambil mengelus perutku.

Dia memang sengaja, memancing aku berbicara. Tapi aku tak akan terpancing. Aku diam saja. Dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Dedek laper ya? Ayah beliin bubur mau?" Tanya Pras. Dia menempelkan telinganya di perutku, "Hah mau? Oke ayah beli ya sekarang!" Persis seperti orang gila.

Dia hendak keluar dari kamar, sebelum seorang suster masuk. "Dengan keluarga bapak Rafi?" Tanya suster itu.

Bibi langsung berdiri. "Saya istrinya..."

"Baik ibu, suami ibu masuk IGD, dia mengalami usus buntu, kami perlu menindaklanjuti, bisa ibu ikut kami sebentar ..." kata suster itu.

Aku langsung terkejut. "Hah usus buntu? Bukannya beberapa bulan lalu paman usus buntu?" Tanyaku dengan kaget.

Wajah Bibi langsung pucat. Wajah Pras juga. Suster itu langsung kebingungan. "Namun sepertinya--"

"Baik sus! Antar saya ke sana..."

Suster itu mengangguk. Dan mengantarkan bibi Dahlia. Tinggalah Pras, aku memandanginya lekat-lekat. Pras diam. Aku tahu ini berhubungan dengannya.

Kemudian aku melihat wajah Ara. Dia memelukku, "Maaf Bella, maaf..." setelah kalimat itu. Semua jelas adanya.

Ya Tuhan! Sekolah tinggi-tinggi sia-sia saja bagiku. Ternyata aku sebodoh ini. Mereka semua menipuku. Astaga! Dadaku sesak! Bukan main!

Aku memejamkan mata berharap ini semua hanya mimpi. Pras langsung berjalan ke arahku. Emosi yang kutahan, kini sudah berada di puncak kepala.

Dan Om Rafi? Ikut andil dalam semua ini? Aku menatap Ara, "JAWAB AKU, BERAPA UANG YANG DITERIMA BAPAK LO?" tanyaku kesal.

"Tiga..ratus juta," jawabnya.

"Kalian ngejual gue? Astaga, liat Bell, lo bener-bener sebego ini..." aku langsung turun dari ranjang. Pras langsung memelukku dan menggunamkan kata maaf. "Lepasin gue, atau lo nggak bakal liat gue lagi selamanya..." kataku. Pras langsung melepaskanku.

Kakiku yang tadinya lemas, entah punya kekuatan dari mana. Aku berjalan, keluar dari kamar, dan meminta suster,  untuk melepaskan infusan.

"Tapi bu, ini melanggar--"

"Fine! Gue buka sendiri..." kataku walau aku tidak tahu cara melepaskannya. Pras masih berada dibelakangku.

"Bella, please..."

"Diem, bangsat ya lo... jadi cowok nggak ada harga diri tahu nggak? Gue nyesel nikah sama lo... ternyata bagi lo gue hanya tambang emas! Lo beli gue supaya harta lo makin banyak. BANGSAT!"

Suster itu terdiam. Pras hanya diam, dan menggunamkan kata maaf. Seolah tidak peduli kalopun seseorang merekamnya. Walau tidak mungkin, karena ini tengah malam hanya ada suster dan beberapa keluarga yang mungkin sedang tidur.

"Ibu mohon tenang dulu, ibu sedang hamil... setidaknya, sampai ibu sembuh, ibu tidak boleh ke mana-mana!"

"KALO GITU, SAYA MAU MATI AJA SUS! SAYA NGGAK SUDI LIAT DIA LAGI!" aku menunjuk Pras.

"Oke fine kamu kembali ke kamar, aku diluar..." katanya.

"Nggak lo sama Ara, keluar... nggak usah nampakin wajah lo lagi depan gue. Dan gue jamin, setelah gue keluar dari rumah sakit, kita bakalan ketemu di pengadilan!"

Wajahnya merah. Dia marah. Aku tahu itu. Namun dia memendam ke marahannya. Aku berlari menuju kamar, Ara melihatku. "Keluar lo..." kataku.

Dan akhirnya aku sendirian. Ini lebih baik. Ya Tuhan, apalagi ini. Kenapa pria bernama Pras itu, membawa sedemikian masalah dalam hidupku.

Malam ini aku menangis sendirian. Malam ini aku mengusap perutku saling menguatkan. Pria itu kejam sekali Tuhan. Kenapa aku berjodoh dengan Pria yang memberiku rasa sakit.

Kenapa semua orang memberiku rasa sakit sedemikian rupa?

30 Juni
23.14 yokkk ngebut yoooo

Doain ya biar konsisten cepet update. Maaf kalo ada typo ini udah malem gaesss!!

Luv uu klean semua

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang