Sejak kejadian kemarin. Aku langsung tidur. Dan pagi ini aku bangun dengan keadaan yang masih sama. Malu bukan main. Jujur saja aku nggak pernah nangis dihapadan pria manapun.
Aku melihat wajahnya, yang tenang ketika hembusan napasnya mulai teratur. Ya kali dilihat-lihat gini, dia ganteng juga sih. Kenapa mau ya jadi suamiku.
Aku terkikik geli. Kuusap pipinya. Kasar, karena bulu-bulu diwajahnya mulai tumbuh. Kalo nggak gengsi, aku bakalan minta dia brewokan. Tapi gengsi ah. Nanti dia baper. Aku colek lagi.
"Diem Bell ngantuk," eh, dia bangun.
"Bangun! Salat subuh dulu, ntar tidur lagi."
Dia berdeham. Sementara aku langsung mengambil wudhu. Pras tak lama menyusul, dan menjadi imam salat. Setelahnya aku melipat mukena.
"Aku pagi ini mau ke pantai. Mau liat sunrise." Kataku padanya yang kembali menuju kasur dengan masih menggunakan sarung. "Kalo mau tidur. Ya udah tidur aja lagi." Kataku dia berdeham.
Aku mengganti baju. Ya masa ke pantai pakai piyama. Aku membuka belanjaanku dan membawa kain pantai sebagai rok. Kemudian menggunakan tanktop hitam, sebagai baju.
Ya sekalian jemur dikitlah. Kan matahari sebelum jam sembilan itu sehat. Aku membawa ponsel. "Aku pam-"
"Eeeh, ke mana itu?" Tanya Pras.
"Kan udah dibilang. Mau ke pantai!"
"Pake gituan? Ganti!" Katanya.
"Pras!" Protesku.
Dia memandangiku. Aku kenal pandangan yang tidak bisa ditolak. Dengan kesal aku membuka tanktop dengan kasar. Tanpa sadar Pras merubah pandangannya.
Dia langsung berdiri. Mengukungku. Aku diam seribu bahasa. Dia membuka kain pantainya. Dan mencium bibirku. Aku terkejut bukan main.
Namun aku menerimanya.
Dia mengendongku ke arah ranjang. "Bell," suaranya serak.
Aku tidak menjawab. "Jangan menolakku," katanya.
Aku tidak tahu harus apa. Ya Tuhan gugup banget. Aku memilih diam dan menerimanya. Aku lupa, tentang sunrise, dengan berjemur. Hanya nama Pras dalam otakku sekarang.
Aku merasa aku sudah gila.
Setelahnya aku kesal bukan main. Karena ternyata sorenya harus pulang. Aku tidak bisa menikmati Bali. Karena ada telefon mendadak, mengatakan Pras harus berada di kantor pukul lima sore.
"Kan nanti masih bisa ke sini lagi," bujuknya.
"Iya dong, bisa, nanti ke sininya sendiri nggak usah ajak-ajak!" Kataku.
"Iih kok gitu," katanya.
Aku mengambil hedseat di dalam tasku, dan memakaikannya. Dia hanya mengusap kepalaku. Kesal aku bukan main.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Buys Me ✔
Romantizm[Telah Selesai] Aku kembali berdeham. "Bell, inget kamu sekarang istri aku, harus nurut. Selagi aku nggak ngerugiin diri kamu, kamu harus ikutin mauku." * * * Kedatangan seorang pria yang tidak pernah diduganya membawan...