Berubah? Bukan lagi. Aku udah nggak kayak diriku. Sukanya deket-deket Pras. Suka ngamuk kalo dia udah mulai mainin ponselnya. Aku nggak muntah-muntah. Tapi manja. Selalu pengin deket-deket Pras.
Pernah ya, waktu dia ngantor, aku terror telfonin satu jam sekali. Kalo nggak ngangkat aku bakalan nangis kejer sampe dia pulang.
Itu terjadi dua minggu kebelakang sampai sekarang. Bahkan dia nggak bisa meeting ke Bandung, gara-gara aku nangis terus.
Dia ngalah. Dan nggak kemana-mana. Yailah kan dia yang hamilin, tanggung jawab dong!
Dan sekarang aku dan Pras sedang menikmati waktu berdua di kamar. Sambil tiduran. Aku sih yang tiduran, dia mah bergerak gelisah terus dari tadi. Ya apa lagi, pastinya karena nggak ikut meeting.
"Yang, aku ke toilet bentar," katanya.
"Iiih kenapa sih dari tadi ke toilet mulu," jawabku kesal, yang sudah seperti anak koala--neplok mulu. "Atau jangan-jangan kamu bohong, ngapain di toilet? Masa sejam sekali."
Dia meringis. Aku jadi hobi marah-marah. Ya dulu juga gitu, tapi ini marahnya lain.
"Aku tanya dulu ya, meeting-nya gimana?" Tanya Pras, menyengir. "Bentar lima menit."
"Ya udah sini aja," kataku.
Tanpa basa basi, dia membawa ponselnya dan mulai mengobrol dengan wakilnya. Sementara aku yang neplok di dada dia, yang aku sadari ternyata peluk-able banget sih, suamiku.
"Ooh gitu, yang penting klien nggak minta batalin kan kerja samanya?" Tanya Pras. "Bagus-bagus, bilangin permintaan maaf saya ke rekan-rekan semua." Dia tertawa-tawa sambil melirikku. "Iya, terima kasih, Vinna."
Aku langsung menoleh, dia menaruh ponselnya. Dan membalas pandanganku. Dan mengusap rambutku. Vinna?
"Siapa Vinna?" Tanyaku ketus.
"Dia kan sekertaris aku, bukannya aku udah pernah bilang?" Katanya. Tapi aku nggak ingat.
"Kamu dari tadi di toilet telfonan sama cewek?!" Aku melotot, dan mencubit pinggangnya, dia meringis. Kenapa kesal sekali sih. Harusnya biasa aja. "Pantesan kamu ngumpet-ngumpet di toilet!"
Aku melepaskan pelukan dan mulai menangis. Pras panik dan mulai menyentuh bahuku dan membalikanku, "Hei nggak gitu, dia kan sekertaris aku. Kan kamu tadi nggak bolehin aku pengang hape."
"Oooh, jadi ini salah aku?" Tanyaku kesal kenapa sih dia malah makin menyebalkan. "Aku nyebelin gitu maksud kamu? Kalo nggak mau tanggung jawab, nggak usah ngehamilin."
Dia ternganga. "Astaga Bella, kamu nih kalo ngomong, sini ya aku cium sampe engap," katanya.
"Sana ah jauh-jauh," kataku mendorong Pras.
"Jalan-jalan yuk, yang deket-deket aja!" Katanya. "Biar nggak marah-marah mulu, pusing aku dengernya. "
"Yuk! Beli taichan yu!" Kataku dengan bersemangat.
Dia langsung menyipitkan matanya. Aku memang nggak lama kalo marah, apalagi dia selalu nyogok. Entahlah, saat ini aku tahu, ini dipengaruhi hormon. Tapi, hatiku juga nggak bohong kalo aku memang pengin deket-deket dia.
Dan juga, aku bersyukur Pras tidak meledek atau apapun, ketika aku ingin mesra-mesraan. Padahal dulu, dipeluk aja aku nggak mau.
"Ntar aja malem tapi. Sekarang pingin peluk..." aku akan menyesali ketika sudah melahirkan bersikap kayak gini ke dia. "Masih sore. Panas kalo keluar jam segini."
Dia menurutiku. "Pras, aku mau babymoon," katanya.
"Ayo, tapi ntar aja ya deket-deket melahirkan, biar aku atur ulang dulu jadwal kantornya," kata Pras.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Buys Me ✔
Romance[Telah Selesai] Aku kembali berdeham. "Bell, inget kamu sekarang istri aku, harus nurut. Selagi aku nggak ngerugiin diri kamu, kamu harus ikutin mauku." * * * Kedatangan seorang pria yang tidak pernah diduganya membawan...