BAB 18 - Toxic?

9.5K 394 4
                                    

Oke pertama, aku mau minta maaf karena ngilang hampir sebulan. Aku overthinking bgt.

Kedua, aku juga ada beberapa hal yang harus aku urus.

Ketiga, aku lagiii bucin. Wkwkwk. Ini menyita waktu serius😥😂

Keempat, aku harus bolak balik luar kota buat ngurus kuleah.

Kelima, aku juga lagi (lumayan) sibuk di komunitas.

Keenam, aku juga mulai produktif, ngantifin youtube.

Keenam, aku mau coban jualan di shoppe.

And... here we gooo... part 18!

Pendarahan yang cukup berisiko

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pendarahan yang cukup berisiko. Bahkan dokter menyarankan untuk mengugurkan kandungan. Dia sudah memberiku pil mengeluarkannya.

Dan aku menangis, namun Pras memilih membawaku ke dokter lain. Yang untungnya memberiku obat penguat janin. Bukan malah membuangnya, hanya karena si janin sangat lemah.

Konsekuensinya aku harus bedrest total. Benar-benar tidak boleh turun dari kasur. Dengan infusan yang mengalir di tanganku. Pras menyewa perawat untuk benar-benar merawatku.

Dan, akupun tidak kuat hanya untuk duduk. Jadi aku benar-benar hanya tidur. Selama seminggu, makan dengan rasa yang pahit. Aku memaksakan makan walau akhirnya aku muntahkan lagi.

Pras juga menjauhkan segala informasi tentang Bram dan keluarganya, bahkan aku tidak boleh memainkan ponsel. Dia benar-benar membuatku fokus pada bayi kami.

Dia membelikanku buku-buku. Dia membacakannya setiap malam. Dan aku akan terlelap. Dia akan menciumi perutku saat aku sudah mulai menangis. Aku benar-benar merasa dimajakan.

"Pras aku mau stoberi," kataku. "Yang asem."

"Tapi kamu ada asam lambung..."

"Tapi pingin nanti dedek ileran," selalu begitu senjataku.

"Gapapa ileran. Yang penting sehat. Daripada, kenapa-napa. Udah nggak usah aneh-aneh dulu, Bell."

Aku memajukan bibirku memberitahunya aku kesal bukan main. Dan membalikan badan. "Yaudah ngambek aja. Aku nggak bakalan luluh ya, Bell."

Kesel banget. Kalo dia udah so tegas. Aku nggak suka. Aku nggak suka diatur-atur. Nggak suka diperintah.

"Hidup tuh harus tahu aturan!" Katanya seolah membaca pikiranku. "Jangan suka mikirin aturan dibuat untuk dilanggar. Itutuh nggak ada dalam kamus aku."

Semakin kesal. Entahlah, aku selalu kesal ketika dia menceramahiku. Jadi aku memilih hntuk diam saja.

"Bell, nanti nama anak kita siapa? Aku yang namain ya?" Katanya. "Kan aku yang bikin."

"Iiiih nggak ya! Kamu pasti nggak bisa kasih nama anak, nanti nora!" Aku membalikan badan. "Aku yang kasih nama. Karena aku yang lahirin."

"Iiih kok gitu, aku mau kasih nama anak kita--"

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang