Pukul sepuluh pagi. Setelah Dokter memeriksa, dan aku dinyatakan boleh pulang. Yang aku pikirkan adalah, aku harus pulang ke mana?
Tidak mungkin aku ke rumah om Rafi. Dan tidak mungkin juga aku ke rumah Pras. Kutarik napas pelan-pelan, uangku sangat tipis, untuk saat ini. Jadi, kuputuskan untuk membawa seluruh barang-barangku di rumah Pras. Dan mengontrak dekat dengan SMA. Atau kos-kosan barang kali lebih murah.
Pras sudah membayar biaya rumah sakit. Itu sudah pasti, aku juga tidak membawa apa-apa ke rumah sakit selain membawa diri.
Aku sudah mirip gembel yang tidak tahu akan ke mana. Sekarang aku benar-benar sendirian.
Langkahku terhenti saat langkah kaki seseorang yang tengah mengejarku. "Bella," dia menepuk pundakku.
Aku segera menepisnya. "Mau apalagi?" Tanyaku dengan kesal. Tentu saja aku kesal karena dia adalah Pras.
"Bisa kita bicara dengan baik-baik? Beri aku lima menit," pintanya. "Aku akan menjelaskan semuanya."
Aku menggeleng. "Nggak ada. Silakan bicara di pengadilan agama," jawabku. "Kita sudah menikah 5 bulan, kenapa tidak menjelaskannya dari dulu. Kenapa harus menunggu semua terbongkar?"
Pras memeras rambutnya. Dia frustrasi. Sudah jelas. "Ya Bella, aku akuin aku salah, tapi--"
"Tapi?" Tanyaku. "Kamu ngakuin kamu salah dengan menggunakan TAPI?" Aku menggeleng.
"Tapi karena aku takut, kamu bakalan kayak gini..."
"Shut up! You know what, Pras?" Tanyaku. "You are too much!"
Aku segera melangkah menuju lift. Entah, dari mana aku mempunyai kekuatan sehat mendadak. Apa mungkin karena hatiku rasanya sangat sakit, sampai semua yang aku alami semalam memalui badanku tidak ada apa-apanya.
Pras mengikutiku menuju lift. Sialannya kami di lift berdua. "Sekarang kamu mau kemana?" Tanya Pras.
"Not your bussiness!" Jawabku ketus.
Dia tahu aku tak mungkin pulang ke rumah bibi. "Seenggaknya Biarin aku tahu Bell, kamu bakalan ke mana?"
"Ke rumah mertuaku membawa barang-barangku, dan pergi dari hidupnya," jawabku kesal.
Dia diam sejenak. "Aku kontrakin apartement. Mau ya, tolong, ini demi anak kita," nadanya memohon.
"Nope!" Jawabku. "Dan dia anakku, aku yang bakalan gedein dia sendiri, tanpa campur tangan siapapun. Termasuk kamu." Kataku kesal. "Dan tolong banget, nggak usah memperpanjang percakapan."
Suara lift berbunyi. Aku bersyukur, segera berjalan keluar dan mencari taxi. Di dalam taxi aku hanya menangis. Tidak peduli dengan supir taxinya yang sesekali mencuri pandany lewat spion. Ini masih pagi. Dan aku sangat lelah, mungkin karena berdebat dengan Pras.
Aku menyebutkan alamat mertuaku. Dan saat aku sampai ternyata Pras sudah di depan, dia menggunakan sepeda motor ternyata.
"Pak tunggu ya, saya ambil ongkosnya dulu.." kataku.
Pras langsung mendekat, "berapa pak?" Tanyanya.
"Sembilan puluh ribu," jawabnya.
"Nggak usah!" Kataku menatap matanya kesal.
"Ini hutang! Kamu boleh ganti kalo udah ambil dompet," jawabnya.
Aku kesal dan menghentakan kakiku. Di rumah kulihat ibu mertuaku yang menyendiri di ruang tv. "Bella..." dia berdiri
Aku mensugesti diri sendiri untuk tidak menoleh. Sampai aku dikamar segera membuka koper. Membawa dompet. Membawa mas kawinku yang akan aku jual, untuk biaya hidup dan lahiran.
Ketika aku membereskan barang-barangku Pras menutup pintu kamar. "Bel, sampai kapanpun aku nggak bakalam cerein kamu nggak bakalan," katanya. "Aku biarin kamu pergi supaya pikiran kamu tenang, dan berpikir jernih. Setelah itu kita akan bicara."
"Tunggu besok laporanku di kantor polisi. Tentang penjualan manusia," kataku.
"Silakan, karena aku tidak membeli kamu," jawabnya.
"Jangan lupa tentang dokter gadungan dan rekam medis yang memalsukan data Pasien." Dia ikut terdiam. "Kalo kamu nggak mau cerein aku, aku jamin orang lain yang kena imbasnya!"
Tepat saat aku menutup koper dan membawa tas kecilku. Aku berjalan meninggalkan Pras. "Jadi tanda tangani surat perceraian yang akan aku kirim."
Pras hanya diam. Aku tahu dia marah. Tapi dia tidak bisa melawanku. Ini akhir dari keputusanku, pernikahanku tidak berhasil.
Di ruang tv aku melihat mama mertuaku berjalan ke arahku. "Bella..."
"Jangan deketin saya, berhenti memata-matai saya. Biarkan saya lepas dari anda yang telah membuang saya.."
"Bella mama minta maaf," katanya.
Aku menepis saat tangannya akan meraihku. Ternyata ketidak tahuan memang segalanya. Karena rahasia yang terungkap, tidak semuanya bisa membuat tenang. Malah membuat kebencian baru lainnya.
Aku berjalan meninggalkan rumah. Air mata yang mengalir membawa langkahku pergi entah kemana, aku benar-benar dalam sebuah kebingungan.
Super market yang berada diperempatan. Entah mengapa tiba-tiba aku duduk disitu. Sambil meringkung dengan segelas air putih yang aku beli.
Sebuah tangan mengusap pundakku. "Non Bella?" Tanyanya.
Aku mendongkak. "Bi Inah?"
"Non mau kemana?" Tanyanya.
Dia pasti suruhan mama atau Pras. "Saya enggak disuruh mas Pras ataupun Bu Peti." Seolah dia bisa membaca pikiranku. "Tapi, barangkali non tidak punya tujuan, non boleh ke rumah bibi."
Aku mengerutkan dahi. "Rumah bibi ada di Lembang. Kalo non mau, saya suruh keponakan saya antarkan ke sana. Udaranya bagus untuk menenangkan."
Apa aku terima saja tawaran ini. Tapi jujur saja hatiku sedikit malu pada bi inah yang beberapa bulan lalu kubentak habis-habisan.
"Sudah non yang lalu biarlah berlalu. Yang penting non lancar melahirkan, dan dedek bayinya sehat."
Ini benar-benar bagus untuk janinku dan aku. Aku juga harus menghindar dari semua dunia yang sedang aku jalani saat ini.
"Mau ya, non?" Tanyanya lagi. Ya Allah, dia baik sekali, aku benar-benar menyesal tidak menghormatinya. "Biar bibi telpon keponakan bibi."
Aku mengangguk. Bibi tersenyum entahlah aku refleks memeluknya. "Bi, maafin Bella ya bi..."
"Tentu Non, bibi sudah maafin non. Maafin bibi juga yang terlalu ikut campur dengan rumah tangga non," katanya. "Tapi percayalah non, bibi itu senang sekali anaknya ibu Peti datang ke rumah. Terakhir bibi lihat non, sebelum non dikasih ke ayah non."
Ini benar-benar menandakan bi Inah sudah sangat lama bekerja dengan mertuaku. Maaf, bibirku masih sulit mengakui dia ibu biologisku.
Ternyata semua orang tahu, yang menantu sebenarnya adalah Pras, bukan aku. Aku benar-benar merasa orang paling bodoh, jika saja tante Raina kemarin tidak menyadarkanku.
Bi Inah mematikan ponselnya. "Kita tunggu keponakan bibi ya, tapi nggak apa-apa naik mobil butut?" Tanya Bi Inah.
"Ya ampun, bi, aku aja nggak punya mobil," jawabku.
Yang aku sadari hari ini adalah, jangan menduga-duga hati seseorang. Belum tentu orang yang kita sayang memiliki hati yang tulus. Begitupun sebaliknya.
"Sekali lagi makasih ya, bi," ucapku sambil memeluknya.
3 JULI 2019
HADUH HADUH HADUH KOK JADI GINI YAAAAAA
KAMU SEDANG MEMBACA
He Buys Me ✔
Romance[Telah Selesai] Aku kembali berdeham. "Bell, inget kamu sekarang istri aku, harus nurut. Selagi aku nggak ngerugiin diri kamu, kamu harus ikutin mauku." * * * Kedatangan seorang pria yang tidak pernah diduganya membawan...