BAB 6 - Perlakuan Pras

12.3K 493 5
                                    

Setelah sarapan aku langsung membawa tas. Dan bersiap untuk pergi ke sekolah, aku sudah meminta izin datang sedikit terlambat karena ada kepeluan keluarga. Syukurlah sekolah mengizinkan, bahkan mereka menawarkan untuk absen satu hari. Namun aku menolak, karena hanya pertemuan, begitu yang ku katakan pada piket.

Sebenarnya, kenapa bisa terlambat itu karena mamanya Pras mengajak ngalor ngindul. Bahkan wajah Ara kelihatan sudah ditekuk, karena takut terlambat. Ya meski begitu, Ara juga ingin kuliahnya cepat selesai.

Akhirnya kami kembali ke dalam mobil dan memilih mengantar Ara terlebih dahulu. Belum lagi macetnya kota Jakarta pada hari kerja membuat aku dan Ara terlihat sepemikiran; kesal pada Pras. Sedangkan Pras merasa berdosa namun memilih tidak membahas.

"Lo sih, mau aja disuruh nginep, padahal lagi sibuk!" Tunjuk Ara ketika  sudah di mobil.

"Loh kok, gue. Salahin dia nih," tunjukku pada Pras. "Udah tahu orang sibuk, maksa aja!"

"Udah aku minta maaf! Sebagai gantinya, kalian aku teraktir, deh,"  kata Pras membujuk.

"Emang semua beres karena uang," sindirku.

Sementara Pras hanya diam. "Kamu mau apa Ra, biarin aja mbakmu kalau dia nggak mau apa-apa!" Kata Pras.

"Oke mas, aku mau belanja, boleh?" Seolah itu kesempatan emas bagi kaum jelata seperti kami.

"Boleh, tapi ada syaratnya lagi," kata Pras.

"Apa mas?"

"Bikin mbakmu mau nginep lagi nanti malem."

"Siapp!"

Aku hanya diam. Aku mengerti Ara bukannya matre, dia hanya senang ketika kebutuhannya terpenuhi. Aku juga seperti perempuan biasanya, akan senang. Yang jadi masalah, ini sudah masuk sogok menyogok.

"Terserah kalian!"

Pras tersenyum. "Oke Ra! Nanti pulangnya mas jemput dikampus, seletah jemput dia. Kamu pilih aja dulu mall-nya."

"Bisa diatur!" Katanya. "Bell, harus mau ya lo! Jarang-jarang tahu lo nyenengin gue."

Walau bahasanya seperti itu, hatiku menghangat. Karena aku dan Ara memang tidak akrab, lebih tepatnya, kami tidak mengakrabkan diri. Karena Ara terlihat tidak suka padaku, dan aku tidak ingin merepotkan diri hanya untuk akrab dengan orang yang tidak mau aku didekatnya.

Aku hanya berdeham. Dan senyum Ara merekah. Aku merasa seperti kakak sungguhan baginya.

Dan sekarang hatiku mulai bertanya, apa ini memang terbaik? Bersama Pras, semua orang disisiku bahagia? Dan sedikitnya aku terciprat rasa bahagia itu. Apa ini sudah pilihan paling baik?

Jawabannya mungkin.

Setelah mengantarkan Ara ke kampus. Pras malah membawaku ke tukang bubur. Karena dia tahu aku sering sekali makan bubur.

"Bell," ucapnya saat aku sedang sibuk menyuapi mulutku sendiri. "Kamu ngadep sini dulu."

"Apa sih?" Kataku, menghadap sedetik kemudian menatap kembali mangkuk.

"Pernikahan kita tinggal 3 minggu lagi, kamu beneran nggak mau kita ngadain pesta?" Omong-omong soal pernikahan, dia sudah menentukan tanggalnya.

"Aku ngerasa udah bahas ini," jawabku singkat dan tidak mau diulang-ulang.

"Tapi mama aku--" aku tahu arah pembicaraan ini.

Kupotong saja, "Gengsi? anak seorang Petiya pemilik hilma company, pernikahannya ditutup-tutupi? Apa jangan-jangan istrinya hamil diluar nikah?" Kataku meledek.

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang