BAB 19 - Bram

8.7K 349 8
                                    

Fiuh akhirnya selesai juga kerjaan. Kemarin gila sih sibuk banget. Beneran sibukk😭😭😭

Di sini ada orang tasikkah? Aku & komunitas jualan lho, cek akun @kompassunda ya di IG 😚😚😚

Oke maaf ngebacot mulu.

Here we go....

Ternyata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata... itu adalah nomor Bram. Yep Bram. Setelah kucek WhatsApp-nya, foto menampilkan laki-laki memakai baju olahraga yang sedang meniup peluit.

"Bram ini Bella. Kamu sibuk? Bisa kamu balas pesan ini?"

Centang dua. Itu saja sudah membuatku bersyukur. Kulihat saat ini jam delapan lebih. Dan ini adalah hari kamis, harusnya sih dia belum mengajar. Tapi kalau menggantikan guru lain? Aku juga nggak bisa apa-apa.

Centang biru. Tentu saja.

Mengetik...

Duh, kok kayak ABG yang nungguin balesan gebetan. Sadar Bella, lo itu lagi bunting dan udah bersuami.

"Gimana kabarnya Bu? Baik?"

Aku langsung saja mengetik balasan, dengan to the point.

"Bram, langsung aja. Jadi ayah kamu itu papa aku?"

"Yep."

"Kenapa kamu gabilang kamu...sodara aku?"

"Bella, sebenernya aku anak asuh. Mama aku nggak bisa punya anak."

Yaiya sih, kenapa aku nggak terpikir kalau umur Bramkan dua tahun tiga tahun diatasku. Mengingat aku pasti anak pertama dari papa.

"Bell, kita nggak bisa ngomongin ini di Chat. Jadwalin ketemu bisa?"

Tentu saja dia nggak tahu keadaanku. Sementara Pras nggak mungkin mau berbagi keadaanku kepada rivalnya. Namun seharusnya ini menjadi baik.

Aku menghela napas. Mengusap perutku. Aku pasti bisa. Pasti bisa.

"Boleh. Minggu depan bisa?"

"Sure Bella. Kamu bilang aja lokasinya."

"Selasa depan. Tukang bubur deket sekolah. Jam 12 siang."

"Sure."

"Save nomor ini. Tapi jangan chat apapun. Ngerti?"

"Kenapa sih kayak ngumpet-ngumpet?"

Baru kuingat. Bram jangan sampe keceplosan. Tapi aku harus berbohong seperti apa supaya dia mau diajak kompromi, dan Pras juga tetap aman dalam kendali.

"Gapapa. Pras nggak bolehin aku tahu tentang papa. Tapi aku berhakkan? Aku anaknya(:"

"Yep Bella. Kamu berhak untuk tahu:)"

Sepertinya ini akan aman. Aku langsung menghapus chat. Dan bernapas lega. Harusnya sih mudah untukku melakukan ini. Tapi entah kenapa jantungku berdegup kencang.

Seolah-olah yang aku lakukan salah. Aku mengusap perut. Semoga dedek nggak ikut marah. Dan Pras nggak tahu apa yang aku lakukan.

Setengah jam kemudian Nina kembali. Dan aku menyuruhnya jangan bilang ke Pras bahwa handphonenya aku pinjam. Nina iya saja. Syukurlah.

Jam 12 siang Pras pasti pulang. Untuk melihatku, sekalian salat. Kali ini dia membawa bubur dekat sekolah... what the f... maaf dek, mama suka lupa kalo ngomong. Tapi papamu nih, kayak ngendus kebohongan mama.

"Gimana dedek?" Katanya mengelus perutku.

Aku yang lagi nonton tv, menjawab singkat. "Baik. Nggak muntah-muntah. Nggak bandel."

Dia mencium perutku. "Bagus. Anak pinter. Tuh makan, ada bubur kesukaanmu..."

Aku hanya mengangguk. Dia menyipitkan mata. Duh degdegan deh. "Kamu kenapa?" Tanya Pras. "Marah ya sama aku?"

Lohloh...

"Kenapa emangnya? Aku nggak apa-apa."

"Kayak diem gitu. Biasanya bawelin aku," jawabnya.

Bukan marah aing teh. Tapi bikin dosa. Maapin ya pak Suami. Hatiku makin nggak karuan. Mukanya Pras melas banget.

"Aku lagi males aja," kataku. "Kamu udah makan belum?" Tanyaku supaya pikirannya teralihkan.

"Belum. Ntar ya, aku bawa nasi dulu biar makannya sama-sama."

"Suruh aja Nina."

Dia menyengir. "Kaki aku masih mampu jalan kok," katanya. Yups. Pras dan ketulusan hatinya yang pernah kuragukan.

Dia kembali dengan Nasi dan cumi bakar. Iiih gila curang banget sih. Aku makan bubur dia makan cumi bakar. Mukaku pasti keliatan mupeng banget.

"Pengiiin..." kataku.

"Hih kamukan makannya disarankan yang lembut-lembut Bella."

"Dikit aja. Janji sesendok," kataku dengan muka melas.

Dia meniup cumi bakarnya dengan potongan pelit kemudian menyuapiku. "Enak?" Tanyanya.

"Enak."

"Makanya sembuh..."

Aku langsung manyun. "Kamu mah ah, kesel akutu..."

Kami fokus pada makanan kami masing-masing. Untungnya bubur ini masih bisa kuterima, jadi aku sama sekali tidak muntah setelahnya.

Dia memijit kepalaku, aku tidur saja. Enaknya jadi ibu hamil begini, bukan kita yang ngurus suami. Suami yang ngurus kita. Aku sebenarnya ingin melepas infusan.

"Infusan kapan dilepasnya sih, aku udah kuat kok..."

"Beneran?" Tanyanya meyakinkanku.

"Beneranlah, udah enakan."

"Besok aku bawa dokter. Kalo boleh, ya Udah cabut aja. Pegel tuh pasti tangan kamu."

"Banget, Pras."

"Ya udah aku balik kantor."

Aku mengangguk, dan menghela napas lega. Tuhan, biarkan aku tahu semuanya. Aku bukan anak kecil yang tidak boleh tahu dosa orang tuaku.

Dalam sepi. Air mataku turun.


20 Mei 2019
12.04

Semangat puasayaaa!!!

Bentar lg lebaran😚😚😚




Maap pendeeek

He Buys Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang