Play mulmed, aku nulis sambil dengerin itu, hehe:).
***
Karya: Ana
Seperti malam pada satu minggu lalu, aku menangis dalam dasar rindu. Menatap ponsel yang masih menyala. Ah entah ... seharusnya perasaan rindu seperti ini tak pernah menancap pada diriku, seharusnya, dan seharusnya ... aku ... kita berdua tak usah saling kenal. Hah ...
Begitu banyak beban yang harus kupikul, belum lagi rindu melanda diriku. Membuat kepala makin pusing dan jantung yang menurutku sudah tidak normal lagi. Setiap mengingat momen kita bersama, yang ada jantungku selalu berdetak dua kali lebih cepat. Atau tiga kali? Hm ... aku tak tahu. Yang jelas, seharusnya debaran itu sudah hilang seiringnya waktu. Tapi kenapa? Debaran itu masih sangat terasa saat memikirkanmu?
Aku pasti sudah gila, bermonolog sendiri tentang dirimu. Yang entah sedang apa, aku tak mau tahu. Atau sebenarnya aku ingin tahu, hanya gengsiku mengalahkan rasa ingin tahuku itu. Sudah berkali-kali aku berusaha untuk tak peduli denganmu, tak ingin mencari tahu lebih dalam tentangmu. Ah tapi ... aku tak bisa, menahan diri untuk tak melakukan semua hal untuk mencari tahu tentangmu itu begitu sulit.
Memikul beban rindu kepadamu juga sulit, bahkan lebih sulit dari menguasai jari ini untuk tak mengorek informasi tentangmu. Setiap saat, bahkan selesai sholat pun hatiku tetap resah. Tak jarang aku menyebut namamu dalam setiap doaku. Iya aku bodoh, mendoakan seseorang yang belum tentu menganggap kita penting, atau hanya memanfaatkan kepolosan kita saja.
Dear, B ... kamu sedang apa sekarang? Apa sudah makan? Aku rindu momen saat kamu menanyakan apakah diriku sudah makan atau belum, haha. Lucu rasanya mengingat kenangan yang mungkin hanya aku saja yang akan mengingatnya.
Aku rindu momen saat kita saling suap-suapan, jarak jauh. LDR? Maybe, kami sepertinya menjalani LDR saat itu. Aku rindu momen saat kita mengobrol, atau ketika saat itu aku sudah tidur duluan, membiarkanmu masih mengoceh lewat teks di WA. Pagi harinya aku menemukan pesan singkat darimu di antara satuan notif darimu, "Nya. Udah tidur, ya? Good night, Queen ...". Apa yang lebih membahagiakan dari itu? Wajar, sih ... namanya juga remaja dimabuk cinta.
Aku rindu momen saat kamu menanyakan kabar tentangku, dan juga memberikan kabar sebaliknya. Apalagi saat kamu mengomel tentang kelakuan Bundamu. "Nya ... Bunda ngeselin banget, masa hape gue disita, kan jadi nggak bisa ngabarin lo." Kira-kira seperti itu. Ah ... itu ... aku lupa, sudah dua bulan lebih lewat. Lalu kamu melanjutkan, "Ini aja gue ngambil diem-diem, haha.". Dan benar, aku merindukan momen itu.
Aku juga rindu, momen saat aku mengingatkanmu untuk tak mengambil ponsel diam-diam, "Bar, jangan suka ngambil hape diem-diem. Ntar Bunda ngira hape lo dimalingin, haha." Atau ketika aku mengingatkanmu untuk belajar, "Belajar, Bar ... lagi ujian, kan?".
Masih banyak lagi momen yang aku ingat, masih tersimpan rapi di dalam memori. Rasanya ingin mengulang lagi setiap momen yang pernah kita lalui, aku ingin waktu terthenti. Ah ... tapi kalau mengingatmu perasaan rindu ini tak bisa memudar, justru semakin kuat yang ada, susah untuk dilupakan.
Lebih mirisnya lagi, aku tak pernah membagikan kisah piluku ini kepada orang lain. Ah mereka pasti akan beranggapan bahwa aku orangnya baperan. Tapi memang gitu, sih kenyataannya, hehe ... em, maksudku ... Mama dan Ayah bahkan tak mengetahui hubunganku denganmu. Backstreet? Aku jahat, ya, hehe ...
Dear, B ... kamu tahu, nggak kalau di sini aku selalu mikirin kamu? Kamu mikirin aku juga, nggak? Haha, gila. Ehm ... kamu sehat, kan? Aku di sini, nggak baik-baik saja. Aku harap kamu baik-baik saja. Dapetin cewek yang bisa bikin kamu nyaman dan betah. Terimakasih untuk satu bulannya, ehm maksudnya dua minggu perhatianmu.
Semarang, 24 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
30 DWC Jilid 17
Poetry[ANTI PLAGIAT-PLAGIAT KLEB] Mungkin emang gak menarik di awal, tapi coba baca aja. Bab empat seterusnya kutujukan untuk seseorang yang sudah begitu memberiku inspirasi. B ... A ... semua. Tapi, kalian berdua lah yang paling berpengaruh. Tulisan ini...