Karya: Ana
Di bawah naungan pohon beringin, aku sendirian terduduk di sudut kursi bagian kiri pohon besar itu. Meringkuk mencari kehangatan sendiri.
Gelap mulai menyapa, dinginnya angin mulai berhembus membuat bulu kudukku meremang seketika. Ah bodohnya aku lupa membawa jaket. Bisa dibilang, tubuhku sudah bergetar, sedikit. Tak peduli, lah! Toh orang lain akan menganggap diriku tak pernah ada. Memang sebetulnya mereka jahat, hanya aku yang berusaha menganggap mereka baik. Dan setelah sadar dari kebodohanku itu, aku begitu merasa heran. Kenapa aku justru menganggap mereka baik?
Masih sibuk meringkuk, aku tak mempedulikan sekitar. Tadi sebelum kududukkan diri di sini, orang-orang sudah mulai membicarakan hal-hal yang tidak jelas. Katanya, lah pohon ini berhantu. Terlalu besar sampai membuat tanaman ini menyeramkan, ditambah malam ini langit sedang mendung, pencahayaan lampu yang minim menambah kesan horor pada pohon ini. Dan jangan lupakan aku yang setia duduk di bangku ini, pasti orang akan berpikir kalau aku penunggu pohon.
Hingga sebuah tangan melingkar di bahuku, satu tangannya lagi mengelus rambutku pelan. Dekapan itu terasa nyata, aku terdiam. Semakin erat.
Aku mendongak dan mendapati dirimu yang tengah mendongak menatap langit mendung yang tertutup dahan-dahan besar pohon beringin. Terlihat sebuah payung berwarna dark blue terbuka rapi di sisiku.
Tak terasa aku ikut meneteskan air mata begitu melihatmu juga meneteskannya. Sungguh malam ini seakan beban itu terangkat. Kehadiranmu membuatku merasa nyaman, dan kuharap kamu akan tetap selalu bersamaku.
Semarang, 7 Maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
30 DWC Jilid 17
Poesía[ANTI PLAGIAT-PLAGIAT KLEB] Mungkin emang gak menarik di awal, tapi coba baca aja. Bab empat seterusnya kutujukan untuk seseorang yang sudah begitu memberiku inspirasi. B ... A ... semua. Tapi, kalian berdua lah yang paling berpengaruh. Tulisan ini...