Karya: Ana
Bulir keringat berlomba-lomba 'tuk terjun, peluh nampak tercetak jelas, wajah serasa kumal dan kusut. Belum kondisi tubuh yang sedang down. Air mata ikut turun, menyatu bersama bulir keringat.
Sesenggukan terdengar seisi ruangan, sunyi dan menggema. Memberikan kesan misterius. Aku meringkuk di pojok, memeluk lutut dan menenggelamkan wajah. Tak peduli dengan bau badan sendiri, menangis memberikan ketenangan tersendiri bagiku. Melepas segala beban lewat air mata, apa yang lebih melegakan dari itu?
Yang tak pernah kusadari, sejak kapan kamu menjadi berani? Maksudku ... berani berpaling dariku, berani memunggungiku, berani tak menatapku. Yang akhirnya jadi meninggalkanku, bersama kesunyian yang sebelumnya menjadi temanku.
Kamu mengawali dengan berbagai kalimat manis, yang membuatku terlena sampai begitu mempercayaimu. Dan ternyata kamu mengakhirinya dengan sadis, meninggalkanku tanpa kalimat perpisahan. Adakah yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan begitu saja oleh orang yang kita percayai?
Lama kuperlu waktu untuk berdamai dengan rasa itu. Padahal, untuk melupakannya saja sulit, bagaimana mencoba untuk berdamai? Tapi situasi mendesakku untuk berdamai, melupakan, dan meninggalkan segala rasa yang pernah ada.
Kamu ... kubiarkan pergi. Kamu berhak memiliki kebebasan. Apakah selama ini aku terlalu mengekang segalanya? Sampai akhirnya, kamu memutuskan untuk pergi dariku, em ... lebih tepatnya pergi dari kungkunganku.
Semarang, 26 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
30 DWC Jilid 17
Poetry[ANTI PLAGIAT-PLAGIAT KLEB] Mungkin emang gak menarik di awal, tapi coba baca aja. Bab empat seterusnya kutujukan untuk seseorang yang sudah begitu memberiku inspirasi. B ... A ... semua. Tapi, kalian berdua lah yang paling berpengaruh. Tulisan ini...