Kampus

2.3K 248 18
                                    

 
Irida sedang duduk di salah satu bangku kantin fakultasnya seorang diri. Hanya ditemani laptop yang menyala di atas meja di hadapannya. Jemari Irida dengan lincah menari di atas keyboard laptop, sesekali melirik buku tebal yang juga terbuka di sisi laptopnya. Di sisi laptopnya yang lain, sudah tergeletak dua gelas kosong. Dia sudah menghabiskan sekitar dua jam mengerjakan tugas kelompok yang seharusnya dia selesaikan bersama Dini, teman satu kelompok sekaligus sahabatnya yang sekarang malah sibuk mengintip kakak senior tampan mereka. Meski sesekali mengumpat kesal karena kewalahan mengerjakan tugas seorang diri, Irida terpaksa tetap mengerjakan nya jika tidak ingin terkena sangsi.

Jemari Irida berhenti mengetik ketika setangkai mawar putih terjatuh di atas papan ketiknya disusul dengan bisikan mesra di telinga kirinya.
“happy anniversary”

Irida tersenyum dan segera memungut mawar di hadapannya, sesekali ia hirup aroma mawar tersebut.

Ainesh, sang pemberi mawar menyusul duduk di sisi kiri nya. Irida menoleh dan tersenyum saat mendapati sang kekasih tengah tersenyum menatapnya.

“makasih” ujar Irida tulus.

Ainesh mengangguk kecil.
“kado anniversary buat aku mana?” rajuk Ainesh.

“dih! cuma ngasih bunga sebatang masa minta dibales pakai kado” gerutu Irida.

“harus, dong!” sahut Ainesh.

“iya, deh. Kamu mau kado apa?” tanya Irida mengalah.

“emang kamu mau ngasih aku apa?” tantang Ainesh.

“kamu mau nya apa? T-shirt?” tanya Irida.

“dih, murah” cibir Ainesh.

Irida tertawa.
“anak orang kaya kok matre sih, Nesh” ejek Irida.

“biarin” sahut Ainesh.

“iya deh, jadi kamu mau apa? hoodie?” tawar Irida.

Ainesh menggeleng.
“masih murah”

“sepatu? kemeja? Jam tangan?” tawar Irida lagi.

“aku nggak butuh semua itu, aku cuma butuh satu aja” ujar Ainesh.

“apa itu?” tanya Irida.

“jawaban 'IYA' dari kamu untuk satu pertanyaan yang akan aku ajukan” Ainesh tersenyum.

“hah? Maksud kamu apa? Nggak jelas banget” tanya Irida tak mengerti.

Ainesh merogoh saku hoodie nya dan mengeluarkan kotak beludru berwarna biru gelap kemudian meletakkannya di hadapan Irida, segera Irida membuka kotak beludru tersebut dan seketika matanya terbelalak saat mendapati cincin berlian di dalam kotak beludru di tangannya. Irida menoleh pada Ainesh dan memberikan tatapan bertanya yang dijawab dengan senyuman lebar sebelum kemudian bersuara.

“Irida Harris Ryanda, putri tunggal bapak Harris Ryanda, udah 3 tahun kita pacaran, sekarang tunangan sama aku, ya?  inget aku cuma mau jawaban 'IYA' dari kamu!”

Irida mengalihkan tatapan dari Ainesh kemudian kembali memandangi cincin berlian di tangannya.

“Nesh” panggil Irida datar.

“kenapa, Da? Kamu kok keliatan nggak happy?” tanya Ainesh, hatinya sedikit kecewa dengan respon Irida yang cenderung datar.

Irida menggeleng kemudian mengangguk.

Ainesh menggaruk tengkuknya karena merasa heran dengan jawaban dari Irida.
“maksudnya gimana sih? Kamu aneh banget responnya"

Ainesh terdiam sesaat kemudian menyipitkan mata, menatap Irida dengan tatapan tajam. 
"Kamu mau nolak aku?” tanya Ainesh tajam.

Irida segera menoleh ke arah Ainesh dan menggeleng kuat-kuat.

“terus apa dong?” tanya Ainesh yang mulai frustasi karena tingkah aneh Irida.

“aku mau kok tunangan sama kamu, tapi. . .” Irida menggantung ucapannya membuat Ainesh semakin frustasi.

“tapi apa, Da?” tanya Ainesh lirih, dia benar-benar di buat bingung dengan tingkah Irida.

sementara Irida sendiri kembali memandang berlian di tangannya kemudian menunduk dalam.
“Nesh, ini cincin kok berliannya kecil banget” lirih Irida.

Seketika Ainesh menepuk ringan dahinya sendiri, merasa gemas dengan tingkah Irida.
“kenapa nggak bilang dari tadi sih! Bikin bingung aja!"

Ainesh menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan, menghilangkan rasa kesal di benaknya.

"Besok aku beliin lagi cincin yang berliannya sebesar jambu batu” gerutu Ainesh geram sementara Irida terpingkal-pingkal mendengar gerutuan Ainesh yang sewot.

“galak banget, pak” ledek Irida.

“panik aku tuh, respon kamu gak jelas banget tadi” rajuk Ainesh.

Irida tertawa kecil. setelah tawa nya reda, Irida tersenyum lembut, menyentuh tangan Ainesh dan menggenggamnya erat.
“Nesh, percaya lah! kalau ada orang di dunia ini yang sangat ingin aku nikahi, ya hanya kamu orangnya. Aku nggak pernah berfikir untuk menikah sama orang lain selain kamu, karena buat aku hidup itu cuma sekali, dan jatuh cinta juga sekali. Terimakasih sudah menjadi cinta pertamaku, Ainesh Albara”

Ainesh tersenyum kaku, namun beberapa detik kemudian tawanya pecah.

Irida yang tak tau apa yang membuat Ainesh tertawa pun hanya menatapnya bingung.
“kamu kesurupan, Nesh?” tanya Irida polos.

Ainesh menggeleng setelah tawanya reda.
“omongan kamu ugal-ugalan banget, Da. Cewek yang biasanya oon plus bar-bar kok ya nggak pantes banget ngomong romantis gitu”

Segera Irida melotot dan menghujani sang pacar dengan cubitan maut pada lengannya.
“Ainesh nyebelin!” pekik Irida.

“aduh-aduh. Ampun sayang” ujar Ainesh sambil berusaha menghindari serangan Irida.

 Setelah cukup lama berusaha, Ainesh berhasil menangkap kedua tangan Irida, menggenggamnya erat kemudian mengecup ringan punggung tangan Irida.
“aku selalu percaya, sayang. Terimakasih telah memilih aku sebagai matahari terbitmu, pelangiku yang penuh warna”

***

   Saya tuh suka nggak PD kadang sama cerita buatan saya. Makanya suka unpub sesuka hati. Merasa minder ketika melihat work orang lain yang banyak readersnya sementara work saya sesepi kuburan tua. Huhu *curhat.

  Tapi gak papa. Saya update aja, siapa tau suatu hari (ntah kapan tapi-_-) akan ada banyak orang yang sudi membaca karya saya.

Terimakasih untuk yang sudah mampir,

Salam kecup dari penulis abal-abal.

Love,

OLinMayawi_

Menolak Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang