Irida yang merasa kesal karena tak kunjung mendapatkan balasan dari Ainesh padahal pesannya sudah dibaca pun hanya bisa menggerutu. Ia mencoba menelfon nomor Ainesh namun gagal, handphone Ainesh tidak aktif. Karena kesal, Irida mencampakkan handphone miliknya ke dashboar mobil.
Setelah menunggu lebih dari 5 jam di bandara, Irida memutuskan untuk pergi meninggalkan bandara. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Ainesh mendadak menghilang seperti ini? Padahal Irida dengan semangat bolos kuliah hari ini hanya untuk menjemput sang tunangan. Namun ternyata usahanya sia-sia.
Dengan penuh kekesalan, Irida melajukan mobilnya secara brutal meninggalkan bandara. Tak ia hiraukan suara klakson mobil saling bersahutan menegurnya. Tak ia hiraukan umpatan pengendara motor yang ia salip dengan semena-mena. Tak ia hiraukan para penyebrang jalan yang berteriak memakinya. Ia kesal, sangat kesal pada Ainesh.
Irida terus mengemudikan mobil secara brutal membelah jalanan yang padat. Pikirannya hanya tertuju pada satu tempat, tempat yang sudah lama tak ia kunjungi.
_____
Irida menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah megah bergaya abad pertengahan. Rumah tua yang lebih menyerupai kastil milik kakek Ainesh yang berlokasi di Bogor tersebut nampak bersih dan terawat. Irida turun dari mobil dan segera disambut oleh pria paruh baya yang bertugas menjaga rumah tersebut.
"Mbak Irida" sapa pria paruh baya tersebut yang ternyata masih mengingat Irida.
"Pak Galih" sapa Irida ramah. Segera ia menyalami pria tersebut.
"Tumben kesini sendirian, mbak? Nggak sama mas Ainesh?"
"Nggak, pak. Ainesh masih di New York" jawab Irida sekenanya.
"Mari mbak, ngobrol di rumah saja. Biar dibuatkan minum sama istri saya. Mbak capek pasti kan nyetir sendiri dari Jakarta"
Irida hanya mengangguk menerima ajakan dari pak Galih. Mereka pun berjalan menuju paviliun kecil di halaman samping rumah megah tersebut.
Pak Galih merupakan seorang pria paruh baya yang dipercayai untuk menjaga dan merawat rumah besar peninggalan kakek Ainesh, pak Galih dan istrinya tinggal di paviliun kecil yang merupakan bagian dari rumah megah tersebut. Sejauh yang Irida tau, pak galih dan istrinya bertugas mengasuh Ainesh saat Ainesh masih kecil. Mereka tak memiliki anak. karena itu, keduanya sangat menyayangi Ainesh bahkan menganggap Ainesh seperti anak mereka sendiri.
"Silahkan duduk dulu, mbak" ujar pak Galih mempersilakan. Irida mengangguk dan segera duduk di kursi rotan di teras paviliun.
"Saya panggil istri saya dulu, mbak" ujar pak Galih sebelum bergegas masuk ke paviliun.
Irida mengamati keadaan sekitarnya. tak banyak yang berubah, masih sama asri nya. Bahkan bangku kayu panjang di bawah pohon akasia tua yang tumbuh di halaman depan rumah megah tersebut pun masih tetap di tempatnya. Irida tersenyum, mengenang bagaimana dulu dia dan Ainesh bermain ular tangga di bangku kayu itu. Yang kalah akan di jitak kepalanya sementara yang menang akan di jambak rambutnya. Ainesh lah yang membuat peraturan aneh seperti itu, benar-benar tak ada yang menguntungkan.
Ahh, Ainesh...
"Eh, ada mbak Irida. Sudah dari tadi, mbak?" Sapa Istri pak Galih sambil meletakkan secangkir teh di atas meja di hadapan Irida.
"Lumayan, bu" jawab Irida sembari mencium punggung tangan istri pak Galih.
"Mbak Irida sehat?" Tanya bu Galih.
"Sehat bu" jawab Irida.
"Mas Ainesh dan keluarga sehat juga, mbak?"
"Sehat kok bu" Irida tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Luka (END)
RomanceCerita pertama dari #LukaSeries Hidup itu pilihan, dan aku memilih untuk menolak luka. -Irida Harris Ryanda _____ Maafkan jika niat baikku menolong seseorang berbuah penghianatan untukmu, pelangiku. -Ainesh Albara _____ Aku bukan orang ketiga, aku...