Percaya

1.5K 168 2
                                    

Irida menguap bosan sembari sesekali melirik malas ke arah pintu masuk ruang perawatannya. Berharap ada seseorang yang masuk dan menemani dia setelah beberapa saat lalu mama dan papa nya serta orangtua Ainesh pamit untuk pulang. Sungguh mengesalkan, dengan tega kedua orangtua nya meninggalkan dia seorang diri didalam ruangan sebesar ini. Meskipun sang papa memerintahkan beberapa bodyguard untuk berjaga di depan pintu kamarnya, tetap saja dia merasa kesal karena ditinggal sendirian dalam ruangan.

Sudah dua hari Irida opname di rumah sakit karena keracunan susu basi. Salahnya sendiri karena membeli susu kotak pada pedagang asongan di lampu merah dan langsung menenggak habis tanpa mengecek tanggal kadaluwarsa pada kemasan susu tersebut. dia masuk IGD dan segera ditangani oleh tim medis dengan mengosongkan lambungnya. Setelah sadar, Irida segera dipindahkan ke ruang perawatan di bangsal VIP.

 Irida memandangi tangannya yang di infus, beberapa detik kemudian senyumnya mengembang.
"Kalau Ainesh tau aku sakit karena susu basi , aku pasti diomelin" gumam Irida mengenang kegalakan sang tunangan.

Sudah dua hari juga dia tak mengabari sang tunangan, hal tersebut sengaja ia lakukan karena tak ingin Ainesh tau bahwa dia sedang sakit. Irida juga melarang orangtua nya dan orang tua Ainesh untuk mengabari Ainesh tentang keadaannya. Pria menyebalkan itu pasti akan langsung terbang ke Indonesia dan muncul di hadapannya dengan wajah garang jika tau Irida masuk rumah sakit akibat keteledoran dirinya sendiri. Ainesh, pria yang sangat over protektif dan kadang lebay bukan main.

"Gosh! Da. Lo hobi banget sih bikin orang cemas"
Pekikan tersebut membuat Irida tersadar dari lamunannya, ia menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Dini dengan sebuket bunga dan kantong plastik hitam di tangannya tengah melangkah mendekat ke brankarnya.

"Ngagetin tau nggak. VIP nih bukan hutan. Ngetuk pintu dulu, kek!" omel Irida.

"Nggak sengaja" jawab Dini asal.

"Nih buat lo" Dini melemparkan bunga di tangannya ke arah Irida, meletakkan kantong plastik ke atas meja kemudian ia duduk di kursi yang terletak di sisi brankar Irida.

Irida meraih bunga yang mendarat di atas tubuhnya, menciuminya perlahan.
"gue nggak butuh kembang, Din. Bawa makanan kek. Makanan rumah sakit rasanya kayak racun semua"

"Ye masih bagus gue bawain kembang daripada daunnya doang" sahut Dini.

"Tuh apaan di kresek?" Tunjuk Irida pada kantong plastik yang Dini letakkan di atas meja.

"Ayam goreng. Tapi kayaknya lo nggak boleh makan deh soalnya nyokap lo bilang lambung lo baru aja dikosongin jadi nggak boleh makan sembarangan. Ntar nyokap lo marah sama gue kalo gue kasih tuh ayam goreng ke lo"

"Terus ngapain lo bawa kesini kalau nggak boleh gue makan?" Tanya Irida.

"Buat gue makan di hadapan lo" jawab Dini cuek.

"Bocah gendeng" omel Irida.

"Eh, kan gue mau memotivasi lo, kalau lo lihat gue makan ayam goreng otomatis lo pengen kan. Nah, kalau lo pengen, lo akan berusaha cepet sembuh dulu supaya bisa makan ayam goreng. Jadi lo kan termotivasi untuk cepet sembuh karena liat gue makan ayam goreng" jelas Dini sembarangan.

"Serah lo deh, Din. Terus lo tau darimana gue di sini?" Tanya Irida.

"Nyokap lo nelfon gue, nyuruh gue jagain lo karena bokap sama nyokap lo musti berangkat kondangan ke Jogja" sahut Dini sambil mencomot ayam goreng yang dibawanya.

"Sadis amat tuh orang tua. Tau anaknya sakit malah mentingin kondangan daripada jagain gue" gerutu Irida.

"Ya elah, Da. Drama amat lo. Cuma ditinggal kondangan ke Jogja aja kayak yang mau ditinggal ke Afrika aja"

"Ya kan gue pengin dimanjain sama mereka pas lagi sakit" Irida mengerucutkan bibirnya.

"Kayak biasanya nggak dimanja aja" komentar Dini sebelum kembali memasukkan potongan ayam kemulutnya.

"Ainesh tau lo masuk rumah sakit?" Tanya Dini di sela kunyahannya.

Irida menggeleng.
"ya kagak lah. Bisa abis tuh penjual asongan kalo sampai Ainesh tau"

"Iye, laki lo kan emang agak sinting"

"Sialan lo" Irida melempar Dini dengan buket bunga di tangannya. Refleks Dini menangkapnya.
"woi bunga dari gue nih. Nggak menghargai amat lo sembarangan dilempar-lempar"

"Bodo amat lah. Lo juga ngasihnya dilempar"

Dini terseyum jenaka.
"ya maaf kali, Da. Gue kan nggak biasa jenguk orang sakit. Jadi kagak tau gimana cara ngasih bunga yang bener"

"Berisik lo. Alesan aja" ketus Irida.

"Lo mau, Da?" Dini menawarkan ayam goreng yang sedang dia makan.

"Ya mau lah, gila emang lo. Tega amat makan di depan gue"

"Dikit aja tapi ya. Ntar gue diomelin nyokap lo" Dini menatap sang sahabat.

"Iya deh. Dikit aja" sahut Irida.

Dini memotong ayam goreng di tangan nya menjadi dua bagian yang tak sama besar kemudian memberikan bagian yang kecil kepada Irida dan melahap sendiri bagian yang lebih besar.

"Enak, Da?" Tanya Dini.

"Enak banget. Sialan deh" komentar Irida asal.

"Gara-gara lo nggak masuk dua hari, gue jadi kesepian" ujar Dini.

"Kan masih banyak junior tampan yang berkeliaran. Masa iya masih kesepian?" Canda Irida.

"Astaga. Gue lupa ngasih tau lo"  Dini menyentuh dahinya dengan telapak tangan kanan.

"Ngasih tau apaan?" Tanya Irida.

Alih-alih menjawab, Dini justru tersenyum malu-malu hingga pipinya merona.

"Dih, senyum-senyum gaje. Kesurupan lo?" Tanya Irida sambil bergidik.

Seketika Dini memanyunkan bibirnya.
"sembarangan, gue lagi happy tauk"

"Happy kenapa?" Tanya Irida.

"Gue jadian sama Chandra"  ujar Dini.

"What? Chandra? Anak sastra Inggris semester 2? Yang sering lo stalking itu? Yang ganteng banget itu? Yang muka nya mirip Verrel Bramasta itu?" Tanya Irida bertubi-tubi.

"Satu-satu kali, Da. Nanya kok kayak petasan nggak ada jeda nya" omel Dini.

"Sorry Din, kaget gue anjir. Kok bisa sih lo jadian sama dia?"

"Dih nyebelin. Segitu nggak percaya nya gue bisa dapetin Chandra?" Gerutu Dini.

"Sorry Din Sorry. Maksud gue, dia kenal sama lo dari mana?" Tanya Irida lagi.

"nggak tau. Cuma kenal sekilas waktu dia nemuin totebag gue, abis itu dia nembak gue, ya gue terima aja" jelas Dini.

"What? Lo langsung jadian aja? Kok nggak pernah cerita sama gue?" Tanya Irida.

"Gue malu. Ah ini kan gue udah cerita sih" ujar Dini.

"Eh, lo sama Ainesh gimana?" Tanya Dini.

"Gue sama Ainesh ya biasa aja sih" jawab Irida sekena nya.

"Biasa aja gimana?" Tanya Dini.

"Ya biasa aja. Setelah Ainesh wisuda kami akan nikah" jawab Irida sekenanya.

"Wow. Keren dong. Eh tapi lo percaya emang sama Ainesh? Lo yakin dia di sana nggak macem-macem? Sorry nih, Da. Bukannya gue meragukan Ainesh, tapi kan naluri alamiah cowok emang begitu, mana tahan liat yang bening dikit. Apalagi pacarnya jauh. Kesempatan tuh" celoteh Dini.

"Gue percaya Ainesh kayak Ainesh percaya gue, Din" Irida tersenyum tulus membuat Dini ikut tersenyum dan menyentuh punggung tangan Irida.

"Gue percaya Ainesh, Din" bisik Irida dalam hati.

_____

Part gaje meluncur.

Salam sayang dari penulis abal-abal.

Love,

OLinMayawi_

Menolak Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang