Firasat

1.7K 159 3
                                    

Aku lagi sibuk, Da.

Irida mengerutkan dahi saat membaca pesan yang masuk ke handphone nya. Bukankah tadi Ainesh bilang dia sedang bersantai menikmati indahnya malam di kota New York? Kenapa mendadak dia sibuk? Lagipula bukankah sekarang adalah tengah malam di New York? Apa yang membuatnya sibuk di tengah malam?  Mungkinkah..  Ainesh sedang bersama gadis lain? Ahh, tidak mungkin! Irida segera menepis pikiran buruknya, ia selalu percaya pada sang tunangan. Mungkin dia memang sedang sibuk.

"Ngelamun teros! Sampai lupa temennya lagi ngoceh!"
Omelan Dini menyeret Irida kembali ke alam sadarnya.

"eh, sorry lo tadi ngomong apaan?" Tanya Irida kembali fokus pada Dini.

"nggak ah! badmood gue" rajuk Dini.

"Ya elah Din. Kayak cewek aja lo dikit-dikit ngambek" komentar Irida.

"Somplak, gue emang cewek tau!" gerutu Dini sambil meninju pelan lengan Irida.

"Emang lo cewek ya?" Tanya Irida bercanda.

"Tau ah! Lo kenapa sih kok ngelamun terus?" Tanya Dini.

Irida menghela nafas sejenak sebelum menunjukkan ponsel yang layarnya masih menampakkan pesan singkat dari Ainesh. Dini mengeja satu persatu pesan di layar ponsel sang sahabat kemudian berkomentar.
"oh, itu doang"

"What? Lo bilang apa? Itu doang? Ini yang kirim pesan Ainesh loh! Lo inget Ainesh yang mana kan?" Sembur Irida. Dini yang mendengar omelan sang sahabat hanya terkekeh pelan.

"Iya iya gue tau itu Ainesh, terus masalahnya di mana?" Tanya Dini.

Irida menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"lo inget nggak? Waktu kita lagi PKL di Bogor? Tengah malem gue ngeluh sakit kepala sama Ainesh via telpon, dia langsung nyetir dari Jakarta ke Bogor cuma buat bawain aspirin dan jagain gue sampai pagi, padahal sore itu dia baru aja sampai dari New York. Terus waktu kita masih jadi maba, waktu lo sms Ainesh dan bilang kalau gue nangis karena di tas gue ada kodoknya, Ainesh yang saat itu lagi memimpin rapat BEM nekat cabut di tengah rapat cuma buat nyamperin gue dan nenangin gue. Dia bahkan bikin perhitungan sama anak yang udah iseng masukin kodok ke tas gue. Nggak pernah ada istilah sibuk bagi Ainesh selama itu berhubungan sama gue, Din. Tapi sekarang. . ." Irida kehilangan suaranya. Ia menarik nafas beberapa kali untuk menetralkan hatinya yang bergemuruh.

"Sekarang di NYC tepat tengah malam, dia sibuk ngapain tengah malem di sana? Firasat gue nggak enak, Din. Atau jangan-jangan dia lagi sama perempuan lain? Mereka ngapain tengah malem gini? Gue nggak sanggup bayanginnya" lirih Irida.

Dini merengkuh tubuh Irida, berusaha menenangkan sang sahabat, tak peduli pada tatapan bertanya dari mahasiswa lain yang memenuhi kantin siang ini.

Irida tak sanggup lagi menahan airmata nya, tangisnya pecah di pelukan Dini. Ia menangis terisak sementara Dini membiarkan blazernya basah oleh airmata sang sahabat.

"Dia kenapa?" Tanya Chandra yang muncul dan segera duduk di hadapan Dini dan Irida. Tempat duduk mereka terpisah sebuah meja kantin panjang di tengah-tengah.

"nggak pa-pa. Cuma lagi baper aja. Oh iya mau jemput aku ya? Jadi kencan nih?" Respon Dini. Chandra pun tersenyum.

"Kita tunda dulu aja ya kencan nya. Dia kayaknya lagi butuh kamu, sayang" ujar Chandra pengertian.

"Kamu pengertian banget sih sayang" goda Dini sambil tetap memeluk Irida.

"Iya, yang penting kamu jangan lupa makan siang ya sayang! Jangan nakal!" Chandra menyentuh ujung hidung Dini dengan telunjuknya.

Dini terkekeh pelan.
"iya loh berondongku. Aku janji nggak bakalan nakal kok"

"Anak pintar" puji Chandra sambil mengusap pipi Dini.

Beberapa detik Dini dan Chandra saling tersenyum dan bertatapan sampai suasana syahdu tersebut terganggu karena tangisan Irida yang semakin histeris.

"HUAAAA. . . KALIAN BERDUA NYEBELIN!" teriak Irida. Dini yang panik karena hampir seluruh tatapan mata tertuju pada mereka pun membungkam mulut Irida dengan tangan kirinya.

"Irida bego, jangan teriak! Malu diliatin orang-orang tuh" desis Dini ditelinga Irida.

"BODO AMAT! KALIAN NYEBELIN! ORANG KASMARAN BIKIN IRI! HUAAA! JAHAT! KALIAN JAHAT! MAMA, DINI JAHAT. MAMAAA. . . PAPAAAA. . . DINI SAMA CHANDRA JAHAT!" pekik Irida lantang.

Dini yang kewalahan menjaga Irida yang semakin histeris pun hanya tersenyum canggung kepada semua orang yang ada dan sesekali menggumam minta maaf atas kelakuan Irida yang membuat gaduh kantin. Sementara Chandra hanya menutup wajahnya yang memerah menahan malu dengan kedua telapak tangan.

_____

"Ma, i'm home!" pekik Irida saat memasuki rumahnya.

"Welcome home, sweetheart" jawab sang mama yang segera berlari dari ruang keluarga ke pintu utama rumah untuk menyambut sang buah hati.

"Eh, whats wrong with you? Kenapa anak mama kucel begini? Mata nya kok bengkak? Itu make up sama rambut berantakan gitu. Kena badai di mana sayang?" Tanya sang mama panik.

"nggak pa-pa kok ma. Aku capek nih. Mau mandi terus tidur ya" ujar Irida menghindari introgasi. Tak mungkin ia katakan pada sang mama bahwa dia menangisi perubahan sikap Ainesh sampai membuat gaduh kantin fakultas. Bisa malu bukan kepalang dia.

"Oke kalau gitu. Tapi jangan lupa ya sayang, nanti malam ada dinner sama kolega papa dan keluarga Ainesh. Kamu harus udah siap sebelum jam 7" ujar sang mama mengingatkan.

"Iya mama. Aku inget kok" sahut Irida malas.

"Pinter deh anak mama. Yaudah sana kalau mau istitahat. Selamat istirahat ya sayang" mama Irida mengecup singkat pipi Irida. Irida hanya mengangguk kecil dan berlalu kedalam kamarnya.

  Setelah mandi dan membersihkan sisa make up di wajahnya, Irida membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menangisi Ainesh terasa sangat melelahkan. Hanya butuh beberapa detik sampai ia terlelap dengan nyaman.
_____

Menolak Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang