Widuri melepas pisau di tangannya. Darah mengucur bersatu dengan air irisan jeruk nipis. Widuri meringis. Kakinya lemas dan jantungnya berdegup kencang begitu melihat darah keluar dari jari telunjuknya. Widuri memutar keran dan membiarkan jarinya berada di bawah kucuran air sampai darahnya tidak terlihat lagi. "Gara-gara telepon sialan nie jari gue jadi keiris," rutuknya.
Setelah selesai mengobati lukanya, Widuri melihat tiga panggilan tak terjawab dari Rhea, sahabatnya. Sewaktu mengobati lukanya tadi, ponselnya kembali berbunyi, namun tak ia hiraukan. Widuri duduk di kursi dekat jendela. Ia menempelkan ponselnya di telinga sambil memandangi taman di tempat indekosnya. Tak lama Rhea mengangkat panggilan itu.
"Onta, kenapa lo telpon-telpon gue? Gara-gara telpon lo nie jari gue jadi keiris!" kata Widuri sedikit ketus.
"Buset dah nie cewek galak bener. Jangan galak-galak, Neng, nanti susah dapat jodoh lho," jawab Rhea.
"Jangankan jodoh, mau dapat kerjaan aja gue susahnya setengah mati. Itu perusahaan-perusahaan pada kagak butuh karyawan apa, ya? Masa dari semua lamaran yang gue kirim nggak ada satupun panggilan kerja buat gue. Gue udah bosen banget nih nganggur. Mana bokap nyuruh gue balik ke Jakarta," Widuri menjelaskan.
"Buset dah nie cewek. Gue ngomong baru sekalimat, jawaban lo panjangnya udah kayak rel kereta api. Eh, Bokap lo kenapa nyuruh lo balik ke Jakarta?"
Widuri terdiam sejenak, teringat percakapannya semalam dengan Papa.
"Kayak yang pernah gue ceritain ke lo. Bokap sebenarnya pingin gue ngelanjutin usahanya di Mangga Dua, jual ATK. Gue nggak mau, itung-itungan gue ancur, yang ada bisa bangkrut tuh toko. Gue tuh pinginnya kerjaan yang sesuai sama jurusan kuliah gue."
Widuri ingin menjadi editor sejak ia duduk di bangku SMP. Mimpinya itu muncul karena sering melihat Mama mencoret-coret tumpukan kertas yang dibawanya pulang karena belum selesai dikerjakan di kantor. Oleh sebab itu, ia mengambil jurusan Bahasa waktu SMA. Keputusan tersebut sempat membuat ayahnya kecewa. Pak Linggom ingin anaknya mengambil jurusan IPS. Mata pelajaran ekonomi dan akuntansi setidaknya bisa menjadi bekal untuk meneruskan toko ATK miliknya yang sudah berjalan belasan tahun.
"Yah, padahal gue mau nawarin lo kerjaan. Ya udah deh, gue tawarin ke orang lain aja," kata Rhea.
"Eits, jangan dong. Memang ada lowongan kerja apa nih buat gue?" tanya Widuri semangat. Ia membetulkan posisi duduknya.
"Tempat kerja gue lagi cari orang yang mau jadi prompter, soalnya prompter yang lama mau pulang kampung, mau nikah katanya," terang Rhea.
"Apaan tuh prompter? Gue baru denger kerjaan kayak gitu," tanya Widuri bingung.
"Gue kan kerjanya sebagai terapis anak berkebutuhan khusus, nah orang yang ngebantuin gue pas terapi itu namanya prompter," kata Rhea menjelaskan.
Prompter biasanya sangat diperlukan oleh terapis untuk menangani anak-anak yang sedang tantrum atau untuk membantu anak-anak yang baru pertama kali terapi. Mereka biasanya belum bisa apa-apa dan sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa melakukan instruksi dari terapis.
"Tugas prompter ngapain?" tanya Widuri penasaran.
"Yang pasti sih bantuin terapis, ya. Nanti lo duduk di belakang anaknya. Terus lo ngarahin si anak supaya ngikutin instruksi dari gue."
"Memang mereka nggak bisa ngerjain sendiri?"
"Kalau bisa mah mereka nggak perlu terapi, Neng."
"Kerjaannya gitu doang?" tanya Widuri lagi.
"Ya nggaklah. Kalau anaknya mau pipis, ya lo harus nganterin ke toilet. Kalau mereka bab, lo harus ngajarin mereka supaya bisa cebok. Kalau mereka muntah, lo harus bantuin bersihin bekas muntahnya," terang Rhea.
"GILA LO!" teriak Widuri, "Masa lo kasih gue kerjaan kayak gitu. Gue nie anak sastra, Onta. Masak gue ngerjain yang kayak begituan. Apa kata dunia nanti?" lanjutnya.
Rhea menjauhkan ponsel dari telinganya. Mendengar Widuri teriak-teriak seperti itu bisa membuat gendang telinganya pecah.
"Ya terserah lo, sih. Kalau nggak mau gue bakal tawarin ke orang lain."
"Ogah. Gue nggak mau punya kerjaan kayak gitu. Gue nggak sudi tangan gue ternodai sama kotoran mereka," tolaknya.
Membayangkan dirinya membersihkan kotoran dan bekas muntah saja sudah membuat Widuri ingin mengeluarkan semua isi perutnya, apalagi jika hal itu benar-benar terjadi, bisa mati berdiri dia.
"Ya terserah lo aja sih. Daripada lo nungguin panggilan kerja yang nggak jelas kapan datangnya, mending lo terima tawaran gue. Tapi kalau lo mau nemenin Enci-enci Mangga Dua juga nggak apa-apa," goda Rhea sambil menahan tawa membayangkan Widuri setiap hari memencet tombol kalkulator dan membuat nota pembelian.
"Asem, lo," katanya tidak terima.
Sambungan telepon diputus. Widuri merasa sindiran Rhea ada benarnya juga. Kalau dia tidak mau menghabiskan hidupnya di salah satu toko Mangga Dua, berarti dia harus segera mendapatkan pekerjaan. Tapi dirinya masih belum rela jika harus bekerja sebagai prompter.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
ChickLit[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...