Arsenio kaget bagai disambar petir mendengar perkataan Widuri.
"APA?? Bagaimana bisa hilang?"
Widuri menceritakan semuanya dari awal, termasuk sesi muntahnya bersama Tyra. Arsenio tidak habis pikir, bagaimana bisa Widuri meninggalkan Tyra tanpa pengawasan. Emosi Arsenio langsung memuncak.
"Sudah kau cari di semua ruangan?"
"Sudah," jawab Widuri sambil terisak.
Tangan Arsenio terkepal lalu dia meninju angin. Masalah pentas seni dan para donatur saja sudah membuatnya pusing. Sekarang ditambah lagi Tyra menghilang dari tempat terapi yang dipimpinnya. Kejadian ini jelas-jelas akan membuat citra Rumah Ananda buruk. Bagaimana para donatur mau membantunya kalau tahu ada seorang anak yang terapi di tempatnya menghilang karena kurang pengawasan? Jangan-jangan mereka malah enggan membantu Rumah Ananda.
Apa yang nanti akan disampaikannya kepada mami Tyra? Membayangkan mami Tyra yang akan sangat marah membuatnya semakin pusing. Arsenio memijat pelipisnya. Sungguh, hari ini banyak kejadian yang membuatnya emosi.
"Kau ikut ke ruanganku," kata Arsenio datar. Arsenio membalikkan badan lalu masuk duluan ke Rumah Ananda. Widuri mengikuti dari belakang. Kali ini dia tidak bisa melawan. Dia tahu kalau dirinya salah. Widuri pasrah pada apa yang akan terjadi nanti. Arsenio langsung menutup pintu rapat-rapat begitu Widuri berada di ruangannya.
"Kau itu selalu buat masalah! Sikapmu sering merugikan orang lain. Sebentar lagi orang tua Tyra datang, terus kita mau ngomong apa? Bisa kau bayangkan tidak bagaimana reaksi mami Tyra begitu mendengar anaknya hilang?"
Widuri hanya diam. Air matanya terus mengalir tanpa bisa dikontrol. Dia sudah pasrah dengan semua konsekuensi yang harus diterimanya.
Arsenio mondar-mandir di ruangannya. Rahangnya mengeras. Tangannya sengaja dimasukkan ke dalam saku celana untuk meredam tindakannya yang bisa saja akan menyakiti Widuri.
"Kenapa kau tidak menjawab? Biasanya kau selalu tidak mau kalah."
Arsenio berjalan mendekati Widuri dan berdiri tepat di depannya. Widuri menunduk. Sesekali dia menyeka cairan bening yang keluar dari hidungnya dengan punggung tangannya.
"Tidak perlu kau menangis, air matamu itu tidak ada gunanya! Kau pikir dengan menangis Tyra bisa kembali?" kata Arsenio. Nada bicaranya penuh intimidasi.
"Kau tahu apa akibat perbuatanmu ini untuk Rumah Ananda?"
Widuri menggeleng.
"Pantas kau tidak tahu karena kau tidak punya hati untuk anak-anak! Sebentar lagi nama tempat ini akan buruk di mata orang!" bentak Arsenio. "Kau tidak tahu bagaimana aku bersusah payah mencari donatur yang mau mendukung biaya anak-anak. Mereka layak mendapatkan penanganan yang lebih baik, tapi kau merusaknya. Kau pikir kalau sudah begini para donatur itu mau membantu anak-anak?" lanjutnya lagi.
Arsenio menendang kursi kerjanya hingga membentur tembok. Suaranya terdengar hingga ke ruangan terapi dan membuat para terapis bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Arsenio.
"Kamu sudah merusak kepercayaan orang tua yang menitipkan anaknya di tempat ini. Sekarang apa bentuk pertanggungjawabanmu?"
Widuri gemetar ketakutan. Belum pernah dia melihat Arsenio semarah ini. Widuri hanya menunduk dan tidak berani menatap mata Arsenio seperti biasanya. Sungguh, dia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya terasa berat. Semua memang salahnya.
***
Orang tua murid berdatangan di Rumah Ananda. Mereka menunggu di teras dan ruang tamu. Mami Tyra pun ikut duduk di teras bersama ibu-ibu lainnya. Tidak lama kemudian, satu persatu orang tua dan anaknya meninggalkan Rumah Ananda. Mami Tyra sempat bingung karena anaknya tidak juga keluar dari ruang terapi.
Setelah benar-benar sepi, Arsenio memanggil mami Tyra ke ruangannya. Widuri juga masih berada di sana. Matanya bengkak dan hidungnya merah karena terlalu lama menangis.
Dengan berat hati dan menahan rasa malu, Arsenio menyampaikan perihal hilangnya Tyra. Wanita itu syok dan sangat marah. Dia memarahi Arsenio dan Widuri habis-habisan. Anak semata wayangnya hilang. Arsenio sudah memprediksi reaksi mami Tyra. Dia hanya bisa meminta maaf dan berjanji akan membantu mencari Tyra. Sementara Widuri hanya diam saja. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa sangat bersalah.
Mami Tyra pulang dengan perasaan tidak karuan. Dia menghubungi semua nomor di ponselnya, siapa tahu mereka melihat Tyra.
"Puas kau?" bentak Arsenio pada Widuri yang masih belum beranjak dari tempat duduknya. Arsenio keluar ruangan dan meninggalkan Widuri seorang sendiri.
Tak berapa lama Widuri memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Siang ini dia masih harus bekerja sebagai Prompter Adi. Dia buru-buru membersihkan bekas muntahannya dan Tyra di ruang makan. Setelah itu, Widuri masuk ke dalam ruangan dengan wajah kusut. Rhea sudah mendengar gosip-gosip yang beredar di antara para terapis. Cepat sekali beritanya sampai di telinga mereka.
"Tyra beneran hilang?" tanya Rhea.
Widuri mengangguk.
Rhea mengembuskan napas. Sahabatnya itu mengusap punggung Widuri lembut untuk memberikan kekuatan. Ini masalah yang cukup berat, bukan hanya untuk Widuri tapi juga untuk Rumah Ananda.
"Gue titip Adi, ya. Mau ke toilet dulu sebentar."
"Jangan lama-lama ya," pinta Widuri.
Rhea menepuk pundak Widuri lalu keluar ruangan.
Perasaan Widuri masih tidak menentu. Dia sungguh-sungguh menyesali perbuatannya. Widuri teringat semua keisengan dan perbuatan yang dilakukannya pada Tyra. Tak sepantasnya dia melakukan hal itu. Air matanya kembali jatuh.
Adi yang duduk di hadapannya mengusap butiran bening di pipi Widuri. Gadis itu tersentak dan memandang Adi. Bocah itu kembali memainkan jarinya di udara sambil mengoceh, "Aaa... guu... aaa... gu...."
Apa mereka benar-benar bisa merasakan apa yang sedang Widuri rasakan? Sepertinya iya karena mereka juga punya perasaan. Hanya saja cara menyampaikannya yang berbeda. Dan kini Widuri merasakan secuil perhatian dari seorang anak berkebutuhan khusus. Perhatian tulus. Widuri berdiri lalu memeluk Adi erat.
"Aku minta maaf, ya."
Adi tetap mengoceh dan bermain dengan khayalannya sendiri. Kini Widuri percaya, kalau anak-anak itu punya perasaan. Widuri melepaskan pelukannya begitu Rhea masuk kembali ke ruang terapi.
***
Arsenio masih belum pulang, padahal hari sudah gelap. Semua terapis dan murid sudah kembali ke rumahnya masing-masing sejak jam 4 sore tadi.
Perasaan Arsenio kacau balau. Di otaknya terlintas wajah anak-anak yang akan tampil di acara pentas seni. Mereka akan mendapatkan donatur saat acara itu berlangsung. Bukan hanya biaya terapi saja yang mahal, tapi biaya untuk membeli makanan mereka pun terbilang tidak murah. Wajah-wajah donatur yang batal memberikan dukungan melintas di pikirannya. Berita hilangnya Tyra pasti sudah menyebar.
Dia juga teringat Widuri. Ketika pulang tadi, wajahnya begitu kusut dan hanya menunduk saat berpapasan dengan Arsenio. Apa perkataannya sudah kelewat batas sehingga membuat Widuri tak sanggup berkata-kata?
Arsenio duduk di sofa lalu menyalakan tivi dan memutar ulang rekaman CCTV hari ini. Sejak siang tadi, dia sama sekali tidak terpikir untuk mengecek keberadaan Tyra lewat CCTV. Kondisi tubuhnya yang lelah setelah mengurus semua keperluan acara pentas seni membuat amarahnya berkecamuk saat mendengar penjelasan Widuri.
Layar tivi menampilkan semua adegan yang diceritakan Widuri tadi siang. Namun, di tengah-tengah tayangan Arsenio terkejut. Dia berdiri lalu berlari ke ruang makan secepat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
Chick-Lit[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...