Part 45: SAYUR SOP

1K 97 10
                                    

Widuri meronta agar bisa lepas dari gendongan Arsenio. Dia tidak sudi kulit mulusnya bersentuhan dengan Arsenio. Apalagi perut buncit lelaki itu sangat mengganggu. Namun, sekuat apa pun Widuri mencoba, usahanya tidak berhasil. Tubuhnya terlalu lemas.

"Jangan banyak bergerak! Berat kali badanmu. Tahu kau?"

Widuri menurut. Andai tubuhnya tak selemah ini, dijamin Widuri sudah menghajar Arsenio habis-habisan karena telah menyentuh tubuhnya.

Arsenio kembali membaringkan Widuri di sofa. Tubuh Widuri kini benar-benar lemas. Dia merapatkan jaketnya, dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Melihat kondisi Widuri yang semakin lemah, Arsenio mengambilkan selimut dan memakaikannya pada Widuri.

"Kok lo nggak bawa gue ke dokter sih? Gue kan sakit," ucap Widuri lemas.

"Macam mana aku mau bawa kau ke dokter. Baru kupapah saja kau sudah mengamuk macam singa."

"Ya lo kasih gue obat atau apa kek. Masa lo biarin gue kayak gini. Badan gue lemes banget nie."

Arsenio mengeluarkan kotak obat yang masih belum dibuka dari dalam kresek. Rencananya dia akan membawa obat itu ke Rumah Ananda karena stok obat di sana sudah habis. Arsenio meletakkan obat penurun panas itu di atas selimut.

"Apaan nie? Sanmol? Lo ngasih gue obat demam buat anak-anak? Lo kira gue anak kecil apa?"

"Badanmu saja yang besar, tapi sifatmu tidak jauh berbeda dari anak autis. Sedikit-sedikit tantrum. Kalau kau sudah sehat, kusarankan supaya kau ikut terapi saja!"

"Asem lo!"

Widuri masih ingin membalas ucapan Arsenio, tapi tenaganya sudah semakin menipis. Dia memejamkan mata dan terlelap seketika.

***

Arsenio memanaskan sop yang dia buat tadi pagi untuk sarapan. Sebentar lagi jam makan siang, mereka pun harus makan. Memang porsinya tidak banyak, tapi cukuplah untuk dimakan dua orang. Dia lalu membaginya menjadi dua mangkuk. Arsenio juga telah menghubungi Bu Rina kalau Widuri tidak masuk kerja karena sakit.

Setelah melahap bagiannya, Arsenio membawa sop bagian Widuri ke ruang tamu tempat Widuri terbaring.

"Hei Widuri, bangun kau!" ucap Arsenio. Setelah insiden tadi, Arsenio sedikit sungkan untuk menyentuh gadis itu. Bukan apa-apa, dia kasihan melihat Widuri yang lemah mesti mengeluarkan banyak tenaganya untuk kembali mengamuk. Setelah beberapa kali tak ada respon dari Widuri, Arsenio mengambil sapu dan menyentuhkan ujungnya ke tangan Widuri beberapa kali.

"Widuri, bangun kau! Cacing-cacing dalam perutmu itu sudah demo minta makan."

Tak berapa lama Widuri membuka mata. Dia berusaha untuk bersandar, tapi tubuhnya tidak bisa diajak kerjasama. Arsenio menggeser meja lalu mendekatkan sofa kecil yang didudukinya ke arah Widuri. Tangannya mengaduk-aduk sop dalam mangkuk.

"Sebaiknya kaumakan dulu, setidaknya kau punya sedikit tenaga untuk kita pergi ke dokter," ucap Arasnio sambil menyodorkan sendok berisi sayuran dan daging ke depan mulut Widuri. Namun, gadis itu tidak menyambut suapan Arsenio.

"Kenapa lagi Widuri? Nggak mau makan kau rupanya?"

"Itu makanannya aman nggak? Jangan-jangan lo udah masukin racun di dalamnya, atau lo mau guna-guna gue, ya?"

"Negatip kalilah pikiran kau itu."

Widuri memalingkan wajah, dia tidak kuat melihat tatapan Arsenio.

"Gue mau order makanan aja."

"Jadi nggak percaya kau kalau masakanku aman? Oke. Biar kuhabiskan sendiri. Biar tahu kau kalau nggak ada racun di sop ini. Kalau memang ada racunnya, biar kau lihat aku mati di depanmu," kata Arsenio sambil melahap sop jatah Widuri sampai habis.

"Sudah puas kau? Lagi sakit pun banyak kali tingkahnya. Macam mana kalau kausehat?" ucap Arsenio kesal.

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang