Part 7: Nah Lho....

3K 279 4
                                    

"Muka lo kenapa jelek begitu?" tanya Rhea. Posisi duduknya terhalang pintu yang setengah terbuka sehingga orang yang lewat tidak dapat melihat dirinya.

Ia terkejut melihat Widuri yang masuk ke ruangannya dengan wajah merah menahan emosi. Napasnya masih keluar masuk lewat mulut. Lelahnya akibat berjalan terburu-buru telah hilang dan berganti dengan angkara murka yang ditahannya. Sebenarnya ia ingin meledak tadi, namun diurungkannya karena di sana sudah ada beberapa orang tua murid beserta anak-anak spesial mereka. Tidak pantas rasanya ia melakukan hal itu.

"Noh, temen kerja lo si Airseni. Pagi-pagi udah buat gue naik darah," jawab Widuri sambil mengatur napas.

"Airseni siapa? Kayaknya di sini nggak ada terapis yang namanya Airseni? Tapi namanya kok aneh banget, ya?"

"Noh, si Perut Buncit, hidung besar, pantat lebar, yang kalau ngomong suka pake kau kau. Kasar banget jadi laki-laki!"

"Maksud lo Arsenio?"

Widuri mengangguk. Rhea ingin tertawa namun ditahannya hingga menimbulkan suara aneh dari mulutnya, sementara Widuri masih bersandar di dinding.

"Kok lo malah ketawa sih? Temennya lagi kesel malah diketawain," ucap Widuri jengkel lalu duduk di lantai. Ia mengambil tisu dari dalam tas lalu menyeka keringat di dahi dan lehernya.

"Ya ampun, Neng. Lo sebegitu perhatiannya sama dia. Sampe-sampe lo tau kalau pantatnya Arsenio lebar," canda Rhea. Kali ini dia benar-benar sudah tidak dapat menahan tawa.

"Asem lo!" umpat Widuri. Dilemparnya bungkus tisu di tangannya ke arah Rhea, namun tangan gesit Rhea berhasil menangkapnya. Tanpa mereka sadari, ternyata Arsenio sudah berdiri di pintu ruangan Rhea yang dari tadi setengah terbuka.

"Lagian pagi-pagi gini lo punya masalah apaan sih sama dia?"

Belum sempat Widuri menjelaskan apa yang terjadi, kedua gadis itu terkejut mendengar suara dehaman Arsenio.

"Ehem. Rhea, murid kau yang mau ikut jalan pagi sudah datang belum?" tanya Arsenio. Matanya melirik ke arah Widuri.

Mampus gue, sejak kapan nie orang ada di deket pintu? Dia denger nggak ya kalau tadi gue ngata-ngatain dia? Bego... bego... kenapa tadi pintunya nggak gue tutup.

Widuri memukul-mukul jidatnya dengan kepalan tangan beberapa kali. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ia tidak berani menatap Arsenio. Pandangannya di arahkan ke rak materi terapi yang berbahan plastik dan memiliki roda di keempat sisinya.

"Udah datang, kok," jawab Rhea.

"Okelah. Ayo jalan, yang lain udah siap semua di depan!" ajak lelaki dengan kulit sawo matang tersebut. Arsenio meninggalkan Widuri dan Rhea lalu bergabung dengan peserta jalan pagi yang sudah siap di depan Rumah Ananda.

Rhea membantu Adi berdiri. Anak lelaki itu cenderung pasif, malas bergerak. Dari tadi ia hanya duduk sambil membeo. Tidak jelas apa yang diucapkannya.

"Woi, Neng. Bantuin gue dong," pinta Rhea sambil terus berusaha membantu Adi berdiri. Anak berwajah oriental tersebut menolak dan berteriak-teriak.

"Ogah, ah. Lo aja sendiri," tolak Widuri.

"Ini kan salah satu tugas lo sebagai prompter," Rhea mengingatkan.

"Nanti aja pas jam ngajar baru gue jadi prompter," balas Widuri.

Perempuan dengan rambut yang selalu diikat ekor kuda itu meninggalkan Rhea yang masih berusaha membuat Adi mau berdiri.

Rhea tidak membalas ucapan Widuri. Dia mengerti sekali kalau sahabatnya itu tidak suka anak-anak. Rhea juga tidak mau memaksa karena sesuatu yang dipaksakan tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Biar Widuri pelan-pelan belajar menyukai anak-anak.

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang