Arsenio berlari menuju ruang makan dan menekan saklar. Ruangan yang tadinya gelap kini terang kembali. Rumah Ananda memiliki dua meja makan. Satu meja berukuran pendek berwarna kuning dengan kursi kecil beraneka warna dan satu lagi meja makan berukuran besar dengan kursi makan ukuran orang dewasa.
Arsenio mengangkat taplak meja bermotif bunga yang dilapisi plastik agar meja tidak mudah kotor saat terkena tumpahan makanan anak-anak. Arsenio menunduk dan mendapati seorang gadis kecil tertidur di deretan kursi makan yang berjejer rapi. Wajahnya pucat. Tayangan ulang CCTV memang tidak jelas menampilkan apa yang membuat Tyra sampai masuk ke kolong meja. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang menarik perhatiannya sampai membuatnya tertidur di sana.
Arsenio menggeser kursi perlahan, lalu mengangkat Tyra. Panas dari tubuh Tyra menjalar di tubuh Arsenio. Rupanya Tyra memang benar-benar tidak enak badan sampai badannya demam. Pakaiannya juga bau bekas muntahan. Arsenio menggendong Tyra dan membaringkannya di sofa ruang tunggu.
Arsenio kembali ke ruang kerjanya dan menghubungi mami Tyra. Tak lama, mami Tyra datang dan langsung memeluk anak semata wayangnya. Berulang kali dia menciumi gadis kecilnya. Arsenio lega, Tyra tidak benar-benar hilang seperti dalam bayangannya. Acara pentas seni pun tidak terancam batal.
***
Widuri duduk memandangi langit malam dari atas balkon kamarnya ditemani alunan musik dari Spekta Radio, stasiun radio favoritnya. Ingatannya memutar semua kejadian tadi siang. Dia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Mungkin sebentar lagi akan ada polisi yang menangkapnya atau wajahnya akan benar-benar ada di halaman terdepan surat kabar. Belum pernah Widuri merasakan penyesalan sedalam ini. Dia merutuki perbuatannya sendiri yang selalu mengedepankan egonya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Dia terbayang pada wajah mami Tyra yang sangat syok mendengar berita tentang anaknya yang hilang. Belum lagi segala caci maki yang diterimanya karena telah menghilangkan anak orang. Kalau anak normal masih bisa ditanya dia tinggal di mana. Masalahnya yang hilang adalah anak berkebutuhan khusus yang diajak kontak mata saja susah, apalagi mau diajak bicara.
Widuri berdiri, menyandarkan tubuhnya ke pembatas balkon. Dia membiarkan angin malam membelai kulit halusnya. Tak berapa lama, ponsel di genggamannya berdering.
"Halo Widuri, hari Jumat sore kamu ada acara tidak?" tanya penelepon di seberang sana.
"Ada, Pa. Kenapa?" jawab Widuri lemas.
"Tadinya Papa mau ajak kamu ke acaranya teman Papa. Sekalian mau kenalin kamu sama yang ngadain acara. Orangnya baik."
"Maaf, Pa. Widuri nggak bisa. Jumat sore tempat kerja Widuri juga ada acara."
"Ya sudah kalau begitu. Mungkin lain kali bisa temani Papa kalau ada acara di Bandung lagi, ya."
"Iya. Maaf ya, Pa, Widuri nggak bisa nemenin."
"Iya nggak apa-apa. Kamu sehat kan?"
"Sehat , Pa," jawab Widuri menutupi perasaannya.
Tak lama telepon ditutup dan air mata kembali menetes di pipinya. Ingin rasanya dia pulang ke Jakarta dan merasakan pelukan hangat kedua orang tuanya.
***
Pagi kembali menyapa, namun Widuri tak mau disapa. Paginya terasa berat dan dia belum rela menyambut hari yang akan membuatnya penat. Dengan berat hati dia harus berangkat kerja.
"Pagi," sapa Widuri lemas pada Arsenio yang telah lebih dulu datang di tempat terapi. Wajahnya tertunduk malu. Hatinya masih belum kuat untuk menatap atasannya itu. Arsenio memang belum memberi tahu Widuri kalau Tyra telah ditemukan. Awalnya Arsenio sengaja tidak ingin memberi tahu Widuri, biar gadis itu jera dengan sikapnya. Tapi, melihat wajah Widuri yang tak bersemangat, hatinya terasa perih. Arsenio memanggil Widuri ke ruangannya dan memberitahukan bahwa Tyra telah ditemukan di kolong meja makan.
"Hah? Serius lo?"
Widuri mengangkat kepalanya dan memandang Arsenio tak percaya. Arsenio membalasnya dengan senyum tulus. Widuri pun ikut tersenyum. Hatinya benar-benar lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
Literatura Kobieca[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...