Part 5: PERDANA

3.4K 339 10
                                    

"Bangun, Tyra! Punya anak kok kerjanya bikin malu terus. Nggak usah pake nangis-nangis segala!" teriak seorang ibu kepada anak perempuan yang sedang berguling-guling di lantai. Ia menarik-narik rambut ikalnya yang hitam pekat. Sesekali kepalanya dibenturkannya ke lantai. Lengkingan suara ibu dan anak itu membuat gaduh suasana pagi yang tadinya adem ayem.

Widuri tidak berani menuruni anak tangga sampai selesai. Ia takut peristiwa 'horor' tadi pagi terulang kembali. Dari anak tangga yang diinjaknya, Widuri bisa menangkap bahwa anak itu bernama Tyra dan wanita berbaju merah itu adalah ibunya.

"Bangun, Tyra!" Si Ibu mencoba mengangkat anaknya, tapi gadis kecil itu terus meronta dan berkali-kali lepas dari tangan ibunya.

Widuri memandang ngeri. Dia akan menghabiskan hari-harinya bersama anak-anak seperti Tyra. Keraguan untuk bekerja di Rumah Ananda terselip di hatinya. Tapi ia sekaligus bingung, hanya di tempat itu ia dapat bekerja tanpa persyaratan yang rumit, yang penting mau belajar dan mencoba. Segala sesuatu bisa dipelajari.

Rhea keluar dari ruangannya sambil berlari kecil. Setelah enam bulan bekerja di Rumah Ananda, dia mulai hafal suara anak-anak dan orang tua yang datang ke tempat terapi tersebut. Entah apa yang kali ini menyebabkan Tyra tantrum seperti itu. Kalau tidak salah makan, pasti ada rutinitasnya yang berubah.

Rhea berjongkok, memosisikan dirinya supaya berada di belakang Tyra. Rhea memeluknya dengan posisi tangan berada di bawah ketiak Tyra. Jari-jarinya dibuat seperti posisi orang berdoa dan ditangkupkan di dada gadis kecil itu. Dagu Rhea kini bersentuhan dengan ubun-ubun Tyra.

"Bu Rina pegang kakinya, kita bawa ke ruang isolasi!" perintah Rhea tegas. Tanpa perlawanan ibu paruh baya itu melakukan instruksi. Mereka mengangkat tubuh Tyra dan membawanya ke ruangan di bagian belakang rumah. Widuri belum sempat melihat ruangan itu tadi. Rhea mengunci ruang isolasi dari luar, sementara Tyra mengamuk dalam ruangan seorang diri. Ibunya mengawasinya dari kaca kecil di pintu.

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Widuri membiarkan tubuhnya basah di bawah kucuran air. Rasa hangat membuat tubuhnya terasa lebih rileks. Hari pertama bekerja di Rumah Ananda membuatnya lelah seperti orang habis dipukuli. Leher dan pundaknya tegang. Kepalanya pusing. Berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus bukan hanya menguras kesabarannya, tetapi juga energi dan pikirannya. Mengajar anak berkebutuhan khusus dituntut untuk bisa berpikir dan bertindak cepat untuk menanggapi respon anak-anak yang terkadang di luar perkiraan. Beruntung ia bisa indekos di tempat yang memberikan fasilitas kamar mandi di dalam kamarnya yang dilengkapi dengan water heater. Ya, walaupun biaya kosnya masih dibayari oleh orang tuanya.

Suntikan dana dari orang tua merupakan salah satu penyebab yang membuatnya menandatangani kontrak kerja di Rumah Ananda selama satu tahun. Hatinya merasa tidak enak karena terus-menerus dibiayai orang tua, padahal dirinya telah menyandang gelar Sarjana Sastra. Selain itu, ia juga tidak mau meneruskan usaha ayahnya di Mangga Dua yang menjual ATK. Berdagang bukan passionnya, meski pekerjaan itu telah dilakoni keluarganya turun-temurun. Bekerja di bidang pendidikan anak seperti sekarang ini juga bukan keinginannya. Namun apa daya, hanya pekerjaan itu yang dapat diperolehnya saat ini. Setidaknya ayahnya tidak terlalu memaksanya untuk kembali ke Jakarta karena Widuri telah mendapatkan pekerjaan.

Setelah menikmati pijatan lembut dari kucuran air hangat, Widuri naik ke atas kasur dan menarik selimut, lalu berbaring sambil memeluk guling. Rasa lelah membuatnya terlelap sampai esok paginya.

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang