Widuri kembali terdiam. Ya, dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk berada di posisi orang lain, turut merasakan perasaan orang lain, bahkan mengalahkan egonya untuk keluarganya sendiri. Tidak pernah! Dia hanya memikirkan bagaimana meraih impiannya menjadi editor, meskipun harus menyakiti hati orang tuanya. Mimpi yang entah kapan akan terwujud.
"Menurut Ibu, tidak ada salahnya mengikuti kemauan orang tua. Orang tua pasti memberikan yang terbaik untuk anaknya. Kamu seharusnya bersyukur, tidak perlu merintis toko dari awal, kamu hanya tinggal meneruskan, menjaga relasi dengan supplier, pembeli dan karyawan."
Ya, tugasnya sesungguhnya sesimpel itu, meskipun pada kenyataannya itu tidak mudah.
"Terus mimpi saya gimana, Bu? Saya anak sastra, saya ingin jadi editor." Widuri masih terus mengelak.
"Kalau Tuhan memang berkehendak kamu menjadi editor, pasti jadi. Tuhan punya banyak cara. Bahkan, terkadang di luar pemikiran kita."
"Berarti saya harus melepas mimpi saya?"
"Nggak."
Widuri mengerjap, agak sedikit bingung dengan perkataan Ibu Kosnya. Bu Bambang yang kini duduk di depannya menangkap gelagat anak kosnya tersebut.
"Dulu Ibu juga anak sastra, Sastra Inggris tepatnya."
Apa?
Mata Widuri melebar. Ia baru tahu kalau ibu kosnya pernah menikmati bangku kuliah.
"Dulu ibu ingin jadi guru bahasa Inggris. Tapi, orang tua ingin supaya Ibu cepat menikah. Katanya Ibu sudah cukup umur, jangan sampai jadi perawan tua. Padahal waktu itu Ibu masih muda, baru lulus kuliah. Umur Ibu juga belum ada 25 tahun."
Cerita Bu Bambang kayaknya bakal seru nie.
Widuri memperbaiki posisi duduknya.
"Kok Ibu mau? Itu Ibu disuruh nikah sama Pak Bambang?"
Bu Bambang mengangguk.
"Iya. Menurut Ibu, orang tua pasti milih yang terbaik buat anaknya. Ngikutin apa kata orang tua pasti ada rejekinya sendiri."
"Lah saya kira Ibu belum lama nikah. Kan anak Ibu baru umur empat tahun," tanya Widuri bingung.
"Itu mah bonus dari Tuhan. Anak pertama dan kedua udah gede, udah kerja. Sekarang tinggal di Jakarta," jawab Bu Bambang tersipu malu.
"Jadi menurut Ibu, nggak ada salahnya ngikutin maunya orang tua. Kamu lihat Ibu, memang Ibu akhirnya nggak jadi guru, tapi bisa punya tempat les bahasa Inggris. Sekarang Ibu yang ngegaji guru. Ibu malah lebih suka dengan keadaan Ibu sekarang. Kebutuhan ibu juga tercukupi sejak nikah sama juragan kosan." Bu Bambang tertawa kecil.
Jalan setiap orang memang berbeda. Ada yang beruntung seperti Bu Bambang, namun ada juga yang membingungkan, seperti Widuri.
"Kadang kita nggak perlu merasakan dulu baru mengerti. Ada kalanya kita bisa belajar dari orang lain. Pengalaman itu nggak akan pernah bohong, Neng," lanjut Ibu Kos beranak tiga itu.
"Jadi sebaiknya Widuri resign aja ya, Bu? Terus pulang ke Jakarta dan bantuin Papa jaga toko," ucap gadis bergelar sarjana sastra itu. Perlahan egonya mulai turun.
"Ikutin apa kata hatimu, Neng, bukan kata Ibu."
Widuri sudah sedikit lebih mengerti sekarang. Mungkin semua perkataan Bu Bambang memang benar. Sudah waktunya dia membalas kebaikan dan perhatian orang tuanya.
"Terima kasih ya, Bu, buat ngobrol-ngobrolnya. Saya pasti bakalan kangen sama Ibu dan rumah ini."
Bu Bambang tersenyum. Senyum tulusnya mampu memberikan ketenangan di hati Widuri yang sedang bimbang.
"Kalau kangen, ya tinggal main-main ke sini." Bu Bambang mengelus pundak Widuri, yang dibalas dengan senyuman.
Widuri meninggalkan Bu Bambang yang melanjutkan aktivitas memasaknya di dapur. Matanya memandang setiap sisi dari tempat indekosnya. Mulai besok siang dia sudah tidak di sini lagi. Mulai besok siang dia sudah tidak jadi anak kos lagi, tapi jadi gadis penjaga toko. Dan mulai besok, ia harus melupakan mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
ChickLit[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...