Arsenio lari tergopoh begitu melihat Widuri terbaring lemah tak berdaya di jalan beraspal. Tidak ada siapa pun di sana kecuali mereka berdua. Wajah pucat Widuri membuat jantung Arsenio berdetak lebih cepat, apa gerangan yang membuat rekan kerjanya itu sampai terbaring di tengah jalan. Arsenio mengambil tas ransel Widuri lalu menyandangnya di punggungnya. Panas tubuh Widuri menjalar ke tangan Arsenio ketika mengangkat tubuh lemah itu. Dengan susah payah, lelaki tambun itu membawa Widuri masuk ke dalam rumah yang letaknya tidak jauh dari Rumah Ananda.
Begitu tubuh Widuri mendarat di atas sofa, Arsenio langsung duduk di sofa lainnya sambil mengatur napas. Dengan cepat mulutnya menarik udara masuk lalu mengeluarkannya lagi. Perutnya ikut naik turun.
"Alamak, berat kali kau Widuri! Makan beton kurasa kau makanya hatimu pun ikut keras."
Arsenio menempelkan termometer di kening Widuri. Angka yang tertera cukup tinggi, 39 derajat. Dengan cepat Arsenio mengompres Widuri lalu memijat telapak tangan gadis itu yang sedingin es.
"Lagi sakit begini kenapa tidak istirahat saja. Untung jatuh di depan rumah, macam mana kalau kaujatuh di tengah jalan raya sana? Pasti habis kau!" gerutu Arsenio.
Arsenio memandangi wajah pucat Widuri sambil terus memijit telapak tangan gadis itu, seperti ada beban bergelayut di sana. Entah apa, Arsenio pun tak tahu. Namun, ada sedikit rasa iba muncul di hatinya. Arsenio telah mendengar perihal pengajuan resign Widuri tempo hari yang membuatnya semakin yakin kalau Widuri memang terpaksa kerja di Rumah Ananda. Hanya orang-orang berhati kuat dan berjiwa besar yang sanggup menikmati hari-hari bersama anak-anak berkebutuhan khusus.
***
Widuri mengernyit, tapi matanya masih terpejam. Rasa sakit di antara ibu jari dan telunjuknya terasa sangat menusuk sehingga membuatnya ingin muntah. Dengan cepat Arsenio mengambil baskom di dapur. Tidak lama kemudian seluruh makanan bercampur cairan keluar dari mulut Widuri tepat ke baskom itu.
"Keluarkan saja semua biar lega kaurasa," kata Arsenio sambil menepuk-nepuk punggung Widuri.
Suara lelaki itu tidak asing di telinga Widuri. Setelah mengeluarkan semua isi perutnya, Widuri mengelap sisa muntah di bibirnya dengan tisu. Dia melihat Arsenio berjalan ke sebuah ruangan lalu terdengar suara air mengalir.
Gue ada di mana? Kenapa ada si Airseni di sini? Jangan-jangan dia udah ngapa-ngapain gue di sini. Awas aja kalau dia macem-macem sama gue.
Matanya berkeliling menjelajah seisi ruangan dan terhenti tepat di sebuah foto keluarga. Arsenio ada di antara orang-orang yang berpose di dalam foto itu.
Jadi ini rumah dia? Apa? Gue ada di rumah tuh orang? Gue mesti cepat-cepat pergi dari sini.
Widuri berdiri dan berjalan ke pintu. Baru beberapa langkah mendadak kepalanya terasa pusing. Tubuhnya limbung dan hampir jatuh ke lantai kalau Arsenio tidak buru-buru menangkapnya dan menuntunnya untuk kembali berbaring di sofa.
"Jangan pegang-pegang gue! Gue bisa jalan sendiri," ucap Widuri lemas.
"Oke," jawab Arsenio. Lelaki tambun itu melepaskan tangannya dari tubuh Widuri. Tidak adanya pertahanan secara mendadak membuat tubuh Widuri kembali limbung dan kepalanya terbentur tembok. Widuri jatuh terduduk di lantai.
"Lo jahat banget sih sama gue." Widuri mengusap kepalanya.
"Aku cuma mengikuti permintaanmu."
"Tapi nggak tiba-tiba juga keles."
Arsenio berlutut lalu mengangkat tubuh Widuri.
"Eh eh Lo ngapain? Lepasin gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
ChickLit[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...