Part 42: Kau... Kau...

1.1K 116 6
                                    

Jalanan Jakarta masih belum berubah. Mobil dan motor yang berbaris tanpa ujung menjadi pemandangan lazim setiap hari. Kepulan asap kendaraan menjadi hiasan wajib bagi setiap pengendara. Jakarta tanpa macet? Sepertinya mustahil. Justru aneh jika jalanan Jakarta sepi, terutama di pusat-pusat perdagangan tempat uang berputar seperti Pasar Tanah Abang atau Mangga Dua.

Di dalam mobil travel, Widuri bergidik ketika membayangkan keadaan toko tempat ayahnya mencari nafkah di Mangga Dua. Sebetulnya ada sedikit rasa syukur terselip di hatinya karena tidak jadi menjaga toko keluarganya yang sarat dengan bau keringat itu. Tapi, ada rasa kesal juga karena tidak dapat keluar dari lingkaran anak-anak spesial yang membuat harinya selalu kacau balau. Namun, mimpinya menjadi editor masih belum padam.

Hari itu Widuri memutuskan untuk menginap karena tanpa terasa obrolan orang tua dan anak itu berlangsung hingga tengah malam.

***

"Widuri, tolong kau panggilkan Bu Rina. Rapat sudah mau kita mulai," perintah Arsenio.

Buset dah nie orang mulai kumat, dikiranya gue sapi apa? Pake kau kau segala. Pulang kampung bukannya makin bener otaknya, malah tambah gesrek.

"Bu Rina yang mana nie?" balas  Widuri malas.

Masalah nama ini juga yang membuat Widuri berpikir kalau Rumah Ananda adalah tempat orang-orang aneh, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang sudah jelas aneh. Ada dua orang yang bernama Rina di Rumah Ananda dengan sikap yang sangat berlawanan. Ada Bu Rina yang merangkap di banyak bidang pekerjaan dan senang memotong pembicaraan orang serta ada Bu Rina sang Terapis yang bersifat keibuan.

"Menurutmu ada berapa nama Rina di tempat ini?"

"Ada dua"

"Apa mereka sudah ada di ruangan ini?"

"Belum,"

"Apa kata-kataku tadi kurang jelas?"

"Ya ngomong dong kalau gue harus panggil dua-duanya," balas Widuri sewot.

"Kau itu ya...," kata Arsenio geram.

"Cow itu sapi," balas Widuri cepat.

Rhea yang melihat Arsenio mengepalkan tangan segera menyikut lengan Widuri dan memberi kode dengan wajahnya untuk segera memanggil Bu Rina. Dengan malas Widuri berdiri dan memanggil dua orang perempuan bernama sama itu.

"Tinggal bilang panggil dua-duanya ribet amat. Pake acara muter-muter. Pemborosan kalimat banget deh," gerutu Widuri yang ternyata ditangkap oleh telinga atasannya.  'Wajah cantik, tapi mulutnya ringan kali,' batin Arsenio. Lelaki tambun itu hanya bisa menarik napas lalu mengembuskannya sambil memandangi punggung Widuri yang mulai tidak terlihat.

Kemaren nggak ada tuh orang, tempat ini adem ayem deh. Sekarang malah tambah ribet. Oke, mulai sekarang gue akan membedakan kedua ibu itu dengan sebutan Si Judes untuk Bu Rina yang jutek dan Bu Rina tanpa embel-embel atau julukan apa pun untuk sang Terapis baik hati.

Rapat berlangsung dengan sangat membosankan. Widuri berulang kali menguap dan berharap rapat segera selesai. Rumah Ananda berencana membuat acara pentas seni yang akan menampilkan bakat anak-anak di Rumah Ananda dengan tujuan untuk penggalangan dana bagi keberlangsung Rumah Ananda dan tentu saja untuk mencari donatur tetap.

Mau ngadain acara pentas seni? Di mana letak seninya?  Anak-anak nggak normal begitu apa punya kelebihan? Bukannya menarik minat donatur, yang ada mereka akan kabur. Ngeliat muka gue aja pada nggak mau, apalagi ngeliat banyak orang. Gue jamin acara ini bakalan gagal.

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang