Part 26: MOKMOK

1.4K 120 8
                                    

"Bah, macam mananya kau ini, jangan buka kartu di depan Mamakmulah. Inggak bisa lagi nanti aku minum tuak."

Gelak tawa Arsenio dan ayahnya memenuhi ruangan. Ibunya pun ikut tertawa. Sebenarnya Pak Bistok dirawat bukan karena mabuk tuak, tapi kecelakaan tunggal saat mengendarai motor. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, seharusnya Pak Bistok sudah tidak perlu mengendarai motor. Lelaki berkepala botak itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya menabrak trotoar dalam kecepatan tinggi. Beruntung dia hanya mengalami patah tulang di bagian tangan dan kakinya.

"Jadi, macam mana ceritanya, Pak? Bapak naik motor siapa?" tanya Arsenio ingin mendengar penjelasan langsung dari bapaknya.

"Sudahlah. Inggak usah kita bahas lagi itu. Pening kepalaku."

"Sama, Pak. Aku pun pening. Pening liat Bapakku yang nggak ingat kalau umurnya sudah opung-opung."

Senyum kecil terlukis di bibir Pak Bistok. Arsenio tahu benar kalau bapaknya pasti sembunyi-sembunyi mengendarai motor. Cuma, yang menjadi pertanyaannya, motor siapa yang dipakai Pak Bistok? Di rumahnya tidak ada motor. Dugaannya langsung mengarah pada Mokmok, sekuriti bertubuh gemuk yang menjaga kediaman mereka. Sudah tidak diragukan lagi, pasti Mokmok pelakunya.

"Si Mokmok yang pinjami motor sama Bapakmu," kata Bu Mora seolah bisa membaca pikiran Arsenio.

"Sudah kutebak itu tadi, Mak. Cuma dia kan yang punya motor di rumah kita."

"Iya," jawab Bu Mora singkat sambil mengupas jeruk untuk ketiga kalinya.

"Kalo sudah sampai rumah, kulibas dia. Opung-opung dikasih bawa motor sendirian," kata Arsenio sedikit geram. Pak Bistok mengalihkan pandangannya. Ia sengaja menghindari tatapan Arsenio. Anaknya itu pasti akan mengorek lebih banyak informasi, dan dia selalu tidak bisa menghindar.

"Jangan naik motor lagi ya, Pak. Mobil kita kan banyak. Bapak tinggal pilih aja mau naik yang mana," usul Arsenio.

"Mobil kita kan dipake narik semua, Arsenio," kilah Bu Mora, "Bisa kurang pemasukannku kalau mobil itu dipakai Bapakmu," lanjutnya sambil mengeluarkan biji jeruk dari dalam mulutnya.

"Hollit (pelit) kalilah juragan angkot ini," celetuk Arsenio.

Mereka bertiga kembali tertawa. Selain memiliki perkebunan cengkeh dan karet, keluarga Pak Bistok juga memiliki berberapa angkot di daerah Medan. Dari sanalah harta mereka berasal. Tapi, sebenarnya bukan kekayaan yang mereka cari. Awalnya Pak Bistok hanya memiliki satu angkot, itu pun karena kasihan melihat tetangga Pak Bistok yang terkena PHK. Lama kelamaan jumlah angkot mereka bertambah banyak, dan semakin banyak juga orang yang akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan. Perkebunan yang mereka miliki juga harta warisan.

Setelah berbincang, Arsenio memutuskan untuk pulang. Sejak mendarat di Medan, dia belum sempat beristirahat. Kopernya pun masih dibawanya ke rumah sakit. Ketika tiba di Bandara Kualanamu, Pak Hengky tidak bisa menjemputnya karena dalam perjalanan ke rumah menjemput Bu Mora. Akhirnya Arsenio menggunakan taksi menuju rumah sakit. Arsenio berpamitan lalu keluar ruangan membawa semua barang bawaannya. Pak Hengky akan segera tiba di loby.

***

Arsenio turun dari mobil. Pak Hengky menurunkan semua barang milik lelaki berperut buncit itu dari dalam mobil lalu menyerahkannya pada Bu Garini, asisten rumah tangga mereka, untuk dibawa ke kamar Arsenio.

"Mokmok, kupinjam dulu motormu," pinta Arsenio.

"Inggak bawa motor aku, Bang," jawab Mokmok.

"Tumben kali. Ke mana rupanya motormu?" tanya Arsenio.

"Lagi dipinjam kawan, Bang."

"Dipinjam kawan atau dipinjam Bapakku?"

PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang