"Bapak Abang kan kawanku juga," ucap Mokmok cepat. Melihat Arsenio mengerutkan keningnya, Mokmok sadar kalau dirinya telah salah berucap. Matanya melebar, lalu perlahan ia menunduk sambil menutup bibir tebalnya dengan tangannya.
"Oh, jadi betul kau pelakunya?" tuduh Arsenio. Mokmok mengangguk sambil cengengesan.
"Gara-gara kau Bapakku hampir mati. Untung cuma tangan dan kakinya yang patah. Bagaimana kalau putus kepalanya? Mau kuputuskan kepalamu rupanya buat gantinya?" kata Arsenio geram kepada petugas sekuriti yang menjaga rumahnya.
Mokmok mendongak, menatap anak majikannya dengan wajah memelas.
"Bah, ngeri kalilah Abang ini," kata Mokmok dengan logat bataknya yang kental.
"Lalu kenapa kau pinjamkan motormu itu sama Bapak?" selidik Arsenio.
"Jadi...,"
"Dibayar berapa kau sama Bapak rupanya?" potong Arsenio.
"Begi...,"
"Kenapa kaubiarkan Bapak naik motor? Kau kan tahu umur Bapakku itu sudah nggak muda lagi, sudah opung-opung dia," potong Arsenio lagi sambil melotot. Mokmok menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bah, macam mana awak mau ngomong kalau Abang potong terus dari tadi?" kata Mokmok sedikit kesal.
"Ya sudah. Ceritalah!"
Arsenio bersandar di dinding pos sekuriti bercat pink. Pos itu dicat sesuai permintaan Bu Mora, Mama Arsenio. Biar cantik kayak yang punya rumah, katanya. Dari posisinya sekarang, Arsenio bisa melihat Bang Satrio sedang memotong rumput di halaman rumahnya.
"Jadi, Bapak Abang itu yang memaksa dipinjamkan motor. Tadinya nggak mau aku kasih motorku. Tapi, Pak Bistok bilang dia nggak mau bayar gajiku kalau nggak kukasih motorku."
Arsenio melirik ke arah Mokmok yang juga bersandar di dinding pos sekuriti, di sebelah kanan Arsenio.
"Kalau nggak dibayar gajiku, macam mana aku mau kasih makan anak istriku, Bang," urai sekuriti berbadan gemuk itu.
Arsenio terkejut mendengar perkataan Mokmok. Ia mengubah posisi berdirinya menghadap Mokmok. Tangan kanannya ditempelkan ke dinding.
"Bah, sudah nikah rupanya kau? Kapan kau nikah? Kenapa aku tidak tahu?" tanya Arsenio. Setahu Arsenio, Mokmok memang belum menikah. Mereka berdua sudah dekat sejak lama dan Arsenio sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Pak Bistok-lah yang membayar biaya sekolah Mokmok sampai lulus SMA. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya.
"Belum nikah aku, Bang," balas Mokmok sambil menggeleng dan tersenyum. Bibir tebalnya dan pipi gembilnya ikut bergoyang. Arsenio mengembuskan napas.
"Pokoknya, jangan coba-coba kaupinjamkan lagi motormu itu sama Bapak. Kalau sampai aku tahu, kuhabisi kau!" ancam Arsenio.
"Seperti yang kubilang tadi, Bang. Bukan aku yang salah, tapi Bapak Abang yang maksa. Memanglah, Bapak Abang itu suka cari-cari masalah," kilah Mokmok sambil memonyongkan bibir tebalnya.
Arsenio menatap Mokmok tajam. Orang yang ditatap menjadi salah tingkah dan kembali menggaruk kepalanya. Arsenio beranjak, sambil berjalan mundur, ia membuat huruf "V" dengan jarinya. Diarahkannya jarinya ke matanya lalu ke arah Mokmok, beberapa kali secara bergantian.
"Kutandai kau, da. Ingat itu! Kutandai kau!" teriak Arsenio lalu membalikkan badan dan berjalan ke rumah. Sambil meniru ucapan anak majikannya, Mokmok masuk ke dalam pos.
Arsenio memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Dia berjalan melewati halaman dan mendapati Bang Satrio masih menggunting rumput.
"Bang Sat, jangan kaubabat habis rumput itu, sisakan untuk makan malammu nanti," teriak Arsenio lalu tertawa.
"Siap, Bos!" jawab Bang Satrio sambil mengacungkan gunting rumputnya lalu ikut tertawa.
============================================================
Yeeay... akhirnya aku bisa update lagi.
Kenapa banyak gambar Lolox Stand Up Comedy di part ini?
Karena dialah cast yang aku pakai sebagai Mokmok.
Membayangkan Ibob Tarigan yang berperan sebagai Arsenio sedang berbincang dengan
Mokmok, membuat otakku jadi rada geser dikit hahahhaa
Semoga kalian semua terhibur, ya.
Tungguin part selanjutnya, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMPTER: Cinta dalam Ketidaksempurnaan
Romanzi rosa / ChickLit[TAMAT] #1 autis per 22 Sept - 21 Okt 2019 Widuri, seorang lulusan sastra Indonesia mempunyai mimpi menjadi editor, tapi tak ada satu pun panggilan interview yang datang. Sampai akhirnya, Rhea, sahabatnya, menawarkannya untuk bekerja sebagai prompte...