Part 9: PROTES

2.4K 239 6
                                    

Berkat ulahnya tadi pagi, akhirnya Widuri dipanggil ke ruangan Arsenio. Emosinya sudah mulai reda setelah melahap semangkuk bubur ayam di ujung lapangan tempat para terapis membawa anak-anak bermain. Widuri mengetuk pintu lalu membukanya sebelum mendapat perintah.

"Ada apa lo manggil gue?" tanya Widuri sekenanya. Dia langsung duduk di kursi. Di depannya duduk Arsenio. Posisi mereka dihalangi meja panjang yang biasa dipake Arsenio untuk bekerja. Matanya terasa malas untuk menatap pria bermata belo di hadapannya. Pandangannya diarahkan pada buku-buku yang tertata rapi di rak.

"Kau itu, ya. Cobalah lembut sedikit jadi perempuan. Di mana hati keibuanmu?"

"Belum datang dia kayaknya," jawab Widuri nyeleneh.

"Belum datang?" Arsenio mengangguk-anggukkan kepala. "Ke mana dia rupanya?" lanjut Arsenio.

"Ya mana gue tahu rupanya kayak gimana. Ketemu aja belum pernah," balas Widuri.

Arsenio mencoba menahan emosi dengan mencengkeram erat pegangan kursinya.

"Ah sudahlah. Memang susah ngomong sama kau. Aku tahu kau baru bekerja di tempat ini dan belum punya pengalaman menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tapi, seharusnya kau bisa bersikap wajar sama mereka. Mereka juga manusia, punya rasa, punya hati. Jangan kau perlakukan mereka sesukamu seperti tadi," terang Arsenio.

Widuri membetulkan posisi duduknya dan mulai tergelitik dengan perkataan Arsenio yang baginya terdengar melebih-lebihkan. Hiperbola banget nie orang.

"Mereka punya hati? Kalau mereka punya hati, seharusnya mereka nggak bersikap semau mereka, pake acara guling-gulingan segala di tengah jalan. Mereka punya perasaan? Kalau mereka punya perasaan seharusnya mereka ngerti kalau gue malu diliatin orang-orang pas tadi dia ngamuk di jalan. Lagi pula, mereka juga bukan anak gue, kenapa gue harus sebegitu care-nya sama mereka?" protes Widuri.

"Mereka memang bukan anakmu, tapi bersikap baiklah sedikit," kata Arsenio dengan emosi tertahan.

"Kalau gue baik sama mereka, mereka bisa baik nggak sama gue? Pas gue manggil mereka aja, mereka nggak nengok. Jangankan mau nengok, liat muka gue aja mereka nggak pernah mau. Terus gue harus baik sama anak-anak itu?" protes Widuri lagi.

Arsenio mencoba meredam emosinya. Gadis berambut ekor kuda di hadapannya sepertinya memang benar-benar tidak mengerti sama sekali tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Arsenio mengembuskan napas lalu memajukan posisi duduknya. Perut buncitnya menempel ke sisi meja kerjanya.

"Begini Widuri," Arsenio memulai wejangannya.

Tumben nie orang panggil nama gue dengan benar, biasanya pake kau kau kalau ngomong ke gue.

Karena merasa kurang nyaman dengan posisi duduknya, lelaki itu mulai berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Rasanya tidak enak berada di posisi yang terlalu berdekatan dengan Widuri, bisa-bisa timbul pikiran negatif di otak gadis yang sedari tadi kerjanya hanya protes terus. Dari posisinya sekarang terlihat jelas Mas Seno yang sedang menyapu halaman. Mata Widuri mengikuti gerakan Arsenio.

"Anak-anak itu tidak jauh berbeda dengan kita," lanjut Arsenio.

Apa? Jelas bedalah, gue normal, mereka nggak.

"Mereka bisa tahu, mana orang yang sayang sama mereka, mana yang suka jahatin mereka. Asal kamu tahu, mereka itu sebenarnya cape begitu. Mereka juga mau istirahat, mau berperilaku normal kayak kita, tapi tubuhnya terus bergerak tanpa bisa mereka kendalikan. Jadi, kita yang normal ini seharusnya membantu mereka, supaya mereka bisa lebih baik," lanjut lelaki itu lagi.

Widuri membuka mulutnya ingin menjawab perkataan Arsenio, tapi telat, Arsenio sudah lebih dulu bicara.

=======

Terima kasih sudah mau membaca Prompter sampai part 9 ini. 

Semoga kalian suka ceritanya dan menambah ilmu juga tentunya, khususnya tentang anak-anak berkebutuhan khusus. 

Jangan ragu-ragu untuk kasih masukan dan saran, ya. Apalagi kasih bintang. hehehehe

Tungguin part selanjutnya, ya.


PROMPTER: Cinta dalam KetidaksempurnaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang