Aku gak ngerti sumpah kenapa kali ini Marc menatapku dengan tatapan yang sama sekali gak enak. Ini pertama kalinya seumur hidup. Dia kayak ngeliat muntahan sapi di mukaku.
"Marc, kamu kenapa? Tante sampe kaget pas Iggy telepon."
Dia melirikku kesal, tapi menjawab mama manis banget.
"Gapapa tante, Marc kecapekan.." bohong. Marc bohong.
Jangan-jangan..
Karena aku gak bisa dihubungi? Dia jadi ngambek nih?
Nanti deh kucoba ngomongin sama Marc pas gak ada mama. Aku sama sekali gak bermaksud ngacangin Marc sejak sama Kenny."Marc mau makan apa?"
"Gak usah tante, kemarin kan tante udah beliin makan banyak. Marc makan makanan rumah sakit aja."
Mama bergeming sejenak, "Iggy mana ya?"
"Tadi katanya dia mau makan, jadinya nyari ke luar."
Aku berdiri, "Kai cari Iggy deh."
"Nggak. Duduk." mama membentakku. Aku reflek duduk lagi.
Setelah itu pintu terbuka, dan Tasha memunculkan kepalanya, dia masuk perlahan menghampiri Marc.
"Kairo sana cari Iggy." kata mama tiba-tiba setelah menyadari Tasha yang masuk ke dalam ruangan ini.
Aku bengong. Bego lagi mukaku.
Tadi gak boleh, sekarang disuruh pergi? Gimana sih mama.Aku melengos keluar, merogoh hapeku dan menelepon Iggy. Dia bilang di kantin rumah sakit. Jadi aku menghampirinya.
"Gy, Marc kenapa sih?"
Iggy menarik napasnya, dia langsung duduk menghadapku. Tanganku dipegang. Ini apa-apaan? Tapi wajah Iggy yang serius itu, membuat jantungku melembek. Marc... sakit ya? Dia punya penyakit serius ya?
"Marc... sakit parah ya?"
Iggy diam, masih menatapku.
Kok aku pengen nangis, "Sakit apa Gy? Kanker otak? Tumor? Atau apa??"
"Mamanya mau nikah lagi Kai..."
Aku kayak disamber petir mendengarnya. Itu kayaknya lebih parah daripada di vonis kanker otak. Aku pernah nanya sama Marc tentang Tasha, dan Marc bilang memang dia punya pacar baru yang umurnya 2 tahun lebih muda dari Mario. Tapi aku gak mengira bahwa hubungan itu bakalan bikin Tasha mau menikah lagi.
"Dan ada yang lebih parah." kata Iggy.
"Apa?" lamunanku buyar.
"Marc tau tentang kamu dan mamanya."
Wajahku pucat seketika.
Jantungku langsung berdebar-debar.
Aku mau pingsan.
Pantesan aja dia lihat aku dengan tatapan kayak tadi!"Sejak kapan?"
"Waktu hari pertama kita jadian. Abis test kuliah ya kalau gak salah kalian waktu itu."
"Kok kamu gak bilang aku?????" aku melotot kesal. "Dia tau darimana??"
"Marc bilang jangan, dan aku gak tahu dia tau darimana. Dia cuma dateng, nangis, terus cerita sama aku."
"Dia nyaris pukulin kamu waktu kita pergi ke club berempat waktu itu karena kamu malah ngikutin tante-tante random keluar. Hampir aja dia ngebuka tentang hubungan kamu dan mamanya di depan Kenny."
"Inget gak kamu? Dia teriak di depan mukamu, bilang kamu seleranya tante-tante? Tapi akhirnya kamu yang mukul Marc. Padahal Marc sebelumnya yang narik kamu dari orang itu, dan dia bentak-bentak cewek itu tanpa rasa takut sama sekali."
"Marc sama sekali gak mabuk waktu itu. Tapi aku sengaja bilang Marc mabuk supaya Kenny gak curiga."
Aku diam mendengarkan penjelasan Iggy. Aku ingat tentang kejadian itu. Untungnya Kenny malah merasa Marc ngatain dia mirip tante-tante, bukan curiga ke hal lain. Tapi aku sama sekali nggak nyadar maksudnya Marc ngomong kayak gitu. Kupikir Marc bercanda, dan aku malah marah. Ternyata selama ini dia tau semuanya dan aku pura-pura bego.
Padahal aku masih menghiburnya, meminta dia untuk cerita. Dia cuma bilang Mario bertengkar sama mamanya tapi gak kasih tau lebih lanjut tentang apa. Sisanya, dia cerita tentang Iggy nonstop.
Rentetan fakta ini ngebuat aku sedih. Marc harus nahan kebenciannya kepadaku dan terus berusaha jadi teman yang baik disaat aku malah senang-senang sama Kenny, gak peduliin perasaan Marc yang mendam emosi.
"Aku... Aku ke Marc dulu deh." ujarku sambil berdiri. Beneran lemas banget. Aku gak kebayang Marc bakalan marah kayak apa. Kali ini dia gak lagi menyembunyikan air mukanya, dia terang-terangan menatap jijik kepadaku. Marc.. Marc udah muak sama aku.
Tapi rasanya aku gak peduli. Mau Marc pukulin aku pun, gak apa-apa. Aku emang salah. Aku emang gak tau diri bisa suka sama mamanya sahabatku sendiri. Aku emang gak tau diri karena malah mementingkan diri sendiri, bukannya ngebantu sahabatku melalui masa sulit. Aku gak tau apa-apa tentang Marc, aku bahkan agak sedikit tersinggung karena Iggy yang lebih tahu tentang Marc daripada aku.
Aku berjalan cepat ke arah ruangan rawat Marc tapi langkahku terhenti begitu melihat Tasha berjalan lunglai di depan mobilnya. Emosiku langsung meluap.
"Kamu bikin Marc sedih!" dengan suara mendesis, aku menyerangnya. Bahkan aku ikut masuk ke dalam mobilnya hingga dia tersentak karena melihatku ada di depannya.
Tasha menatapku dan aku terkejut. Riasannya hancur. Dia menangis. Wajahnya.. meski telah berumur hampir 60 tahun, tetap cantik, rasanya gak ada bedanya dengan Kenny yang masih berumur 25 tahun. Aku lupa berapa tepat umurnya, dulu aku tahu segalanya tentang Tasha tanpa cela.
Suara galakku, melembut seketika, "Kamu kenapa?"
Tasha merentangkan tangannya. Seperti terhipnotis, aku menyambut pelukannya. Suara tangisnya di telingaku begitu memilukan sampai aku ingin ikut menangis.
Sambil memeluk dan menenangkannya, aku teringat juga Tasha melakukan hal yang sama kepadaku, memeluk dan menenangkanku saat papaku pergi. Saat itu aku berumur 16 tahun, begitu terpukul karena kehilangan seorang figur papa.
Meski kadang papa terlihat membenciku atau kadang memarahiku tanpa sebab, namun aku langsung bisa memaafkannya ketika tengah malam papa masuk ke kamar dan meminta maaf kepadaku sambil menangis. Aku sayang banget sama papaku, gak rela kehilangan papaku.
Dan cuma Tasha saat itu yang gak henti-hentinya menenangkanku, mamaku juga mengurung diri karena sedih. Marc sama denganku, tak ada rasa cemburu jika mamanya lebih memperhatikan aku apalagi saat itu kami sedang berkabung.
"Tante..." aku memeluknya sambil menangis.
"Anggap aja aku teman kamu Kai. Jangan panggil tante, panggil aja Tasha."
Awalnya aku gak terbiasa sama sekali. Sampai akhirnya aku merasa menyukainya. Aku senang sekali memeluknya saat Tasha memasak, lalu aku mendapat ciuman hangat di pipi.
Karena aku idiot, aku menulis banyak surat untuk Tasha yang gak pernah kukasih. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan rasa sukaku. Di sisi hati kecilku, aku tahu bahwa perasaanku itu salah. Aku bukannya menganggap Tasha seorang ibu, malah menyukainya dalam konteks yang beda. Mama yang gak sengaja menemukan surat-surat itu, mengamuk dan memisahkan aku dari Tasha. Bahkan aku diseret paksa dari rumah Marc saat menangis mengadu pada Marc. Tapi Marc gak tahu sama sekali siapa cewek yang kusuka, padahal... ibunya sendiri.
Sumpah. Aku berusaha menutupi semua aibku ini. Tapi malah kecium bau bangkenya lama-lama.
Aku menghentikan lamunanku begitu Tasha mendongakkan kepalanya menatapku. Entahlah aku gila atau apa, aku juga gak tau apa yang merasuki relungku saat ini, tapi aku balik menatapnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu mencium bibirnya...
Ini ciuman pertamaku sama Tasha setelah sekian lama aku memendam perasaan suka.
Aku gila.
.
.
---
Bhay guys.
Selamat terkejoed part 2
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dragon
Romance"Dia itu cewek dewasa. Gak akan mau jalin hubungan sama cowok bocah kayak lo." "Kalau sampe mau?" "Eh. Dengerin ya. Lo itu baru 20 tahun. Kenny... kira-kira paling 25 atau 26 tahun. Pacarnya, bisa aja yang modalin dia buka studio. Motornya aja maha...