15. Mengikuti Insting

22.6K 1K 39
                                    

Aku diam-diaman sama Kenny karena tadi, dia juga gak kunjung keluar dari kamarnya. Lalu aku melirik jam di hapeku, udah jam 12 malam. Apa marc nginap?

Aku paham sekarang kenapa Marc bilang hubungan ini kecepetan, aku gak prepare sama sekali untuk hal yang seperti ini. Aku gak berpikir kemungkinan-kemungkinan yang bakalan terjadi. Ini salahku, aku jadi sakit hati sendiri. Aku jadi marah sendiri.

Oke oke.
Tenang Kai. Jangan egois.
Tarik napas dalam-dalam, buang.
Lagi ulangi 3x.
Aku akan coba bicarain ini sama Kenny baik-baik.

Aku meletakkan tanganku di kenop pintu. Membukanya, dan masuk ke dalam. Sekarang, sudah tak ada jalan kembali. Aku harus bicara. Apapun. Apapun yang bisa dibicarakan harus dibicarakan.

"Ken.."
"Aku gak suka, dengar kamu bicara konyol kayak tadi." akhirnya aku berani angkat bicara. Akhirnya aku berani mengutarakan pikiran seperti laki-laki pada umumnya.

"Kamu ribut bilang kalau kamu gak dianggap, lalu kamu bilang cinta sama cowok itu di depan aku."

"Aku rasa kamu sama aja kayak dia,"

"Gak nganggap perasaan orang yang ada di depan kamu, gak hargain perasaan orang yang nenangin kamu, yang catatannya pada saat ini, orang itu adalah pacar kamu."

Kenny diam, tidak menjawab.

Aku menghela napas, "Ka-kalau emang menurut kamu hubungan ini kecepetan, ya gapapa Ken. Aku gak bisa paksain kamu.." diam-diam aku memilin kuku, entah kenapa sedih sendiri aku mengucapkan hal itu.

"Kalau.. kalau masih sayang sama dia, ambil waktu dulu aja sebanyak mungkin. Aku juga gak akan kemana-mana. Sekarang kan aku bakalan kuliah di Jakarta." aku menambahkan.

"Atau misalnya kamu nanti nemu cowok yang terima kamu apa adanya dan suka sama pekerjaan kamu, gak kayak dia."

"Aku paham ditinggal tiba-tiba kayak gitu gak enak, paham juga kenapa kamu bisa tiba-tiba mau sama aku padahal aku jauh lebih muda daripada kamu, gak lain dari bocah."

Dia terus diam tanpa melihat ke arahku.

Aku gak percaya semua ucapanku itu bisa keluar begitu aja mulus dari mulut ini. Aku bukan tipe cowok cengeng, tapi kenapa aku mau nangis sih sekarang? Hatiku sakit saat mengatakannya. Marc pasti bakalan goblok-goblokin aku kalau dia tahu apa yang sekarang kulakukan. Tapi serius, aku merasa sangat sedih dan kecewa mendengar semua yang dia katakan di depanku.

Yang aku sebenarnya gak mengerti adalah, dalam waktu singkat, kenapa perasaanku bisa sedalam ini buat Kenny?  Apakah ini normal?

"Kamu putusin aku?" tanya Kenny memecahkan keheningan.

Aku terhenyak melihat Kenny yang berdiri menghampiriku. Tatapannya, aku gak mengerti mungkin karena bengkak sehabis menangis. Tubuhnya menjulang dihadapanku, kepalanya menengadah, menatapku dengan tatapan menelisik. Aku langsung gugup.

"Kamu putusin aku Kairo?"

"Bukan begitu.."

"Aku ngerasa bakalan susah kalau kamu pacaran sama aku tapi masih berada di bayang-bayang cowok itu. Aku juga gak mau jadi beban buat kamu."

Tiba-tiba Kenny memelukku, sambil terisak. Yang bisa kulakukan hanya memeluknya kembali, sambil mengusap kepalanya, merapikan rambutnya yang sudah kusut.

"Jangan tinggalin aku juga." katanya dengan suara terpendam namun aku masih bisa mendengar dengan jelas.

Aku diam membiarkan Kenny menjelaskan, "Kai, justru dengan adanya kamu, semua jadi jauh lebih baik. Aku kepalang kaget dan shock karena transisinya, dia yang biasa bersamaku tiba-tiba berpindah ke cewek lain dan langsung mau menikah."

"Tapi sejak aku sadar kamu yang peluk dan nenangin aku, aku malu. Makanya aku diam dari tadi. Aku takut.. takut kamu merasakan rasanya gak dianggap kayak aku. Sekarang, aku udah sama sekali gak mikirin dia. Aku cuma pengen sama kamu."

"Aku minta maaf ya sayang? Aku sayang sama kamu. Aku yang salah. Kamu bukan bocah buat aku, kamu pacarku."

Dia mengangkat wajahnya sambil tersenyum.

Berikutnya, entah bagaimana bibir kami sudah saling bertautan. Bukan aku atau Kenny yang memulai, semua terjadi begitu aja. Gak tau kenapa permintaan maaf Kenny bisa berefek begini besar untukku.

Otakku kosong, gak ada ruang untuk berpikir jernih. Aku bahkan gak ada rasa ingin melawan ketika Kenny menuntun tanganku untuk menjelajahi tubuhnya. Aku mengikuti permainannya dengan baik, melucuti pakaiannya satu persatu, bahkan menurut ketika Kenny minta tolong untuk kunci pintu sebelum Ia memakaikan pengaman pada milikku yang sudah mengacung tegas. Ini kondom pertama yang aku gunakan, dikasih sama Marc beberapa buah untuk berjaga-jaga setelah waktu itu aku beli untuk membayar les privat.

Jantungku berdegup gak karuan, terutama saat Kenny membantuku untuk memasukinya perlahan. Aku menengadah, menggigit bibirku, mencium bibir Kenny dengan rakus, dan sesekali mengulum puncak payudaranya. Aneh rasanya, tapi nikmat juga dalam waktu yang bersamaan. Hangat yang kurasakan kini menjalar di seluruh tubuh hingga ubun-ubun.

Ini semua baru untukku. Tapi aku merasa sudah mahir. Inikah yang Marc maksud tentang mengikuti insting? Gila, ternyata ada juga sisi dari diriku yang liar seperti ini.

Aku merasa mabuk melihat wajahnya merona meloloskan desahan yang nyaris tak henti-henti setiap kali aku menghentakkan pinggang dan pantatku. Mendengar lenguhannya menyebut namaku tanpa jeda dengan napas tersengal-sengal. Otakku seperti berhenti menyalurkan akal sehat.

Jari-jarinya menyusup di antara rambutku dan tubuhnya menegang. Bagian intimku serasa dijepit kuat sampai aku akhirnya susah untuk bertahan. Aku mencium bibirnya sambil meminta izin untuk menyelesaikan percintaan ini.

Setelahnya, aku merebahkan diri diam mematung. Malu. Malu mampus, jadi aku mengubur diri di dalam selimut.

Melihat kondom bekas kupakai di samping tempat tidur, langsung bergidik. Akal sehatku kembali dan aku mengutuk diri sendiri atas apa yang kulakukan pada Kenny. Dasar Kairo laki-laki brengsek! Bisa-bisanya aku melakukan hal tidak senonoh. Aku bener-bener gak habis pikir. Aku sudah ternodai dan menodai Kenny dengan anuku.

"Kai.."
"Maaf aku ngomong kayak tadi." katanya pelan. Aku tidak menjawab, masih berusaha menetralkan jantungku.

"Aku gak seharusnya bilang aku cinta sama Adrian disaat aku udah jadi pacar kamu. Aku gak cinta sama dia."

"Oh Adrian namanya." gumamku sedikit kesal.

Kenny langsung mengangkat kepalanya, "Kenapa?"

"Gapapa. Biar kucatat dia." aku menjawab sambil terkekeh dan tetap membelakanginya.

"Kamu, kaget banget ya?" tanyaku lagi.

"Aku sebenernya udah siap-siap, sadar kalau sama dia tuh gak akan bertahan lama karena orang tuanya gak suka sama aku dan pekerjaan aku. Mamanya terutama, ngeliat aku kayak jijik banget cuma karena aku banyak tato. Dia bilang, badanku kotor."

Aku termenung mendengar kata 'mama'.
Kekhawatiran Kenny, belum berakhir.
Masih ada mamaku, yang akan melihat Kenny seperti itu dan berusaha memisahkan kita. Belum lagi tentang seluk beluk masalah keluarga yang aku yakin akan membuat Kenny pusing dan meninggalkanku. Aku memejamkan mata, berusaha mengusir pikiran tentang mamaku. Baru aja aku senang, masa udah mikirin masalah lagi? Nanti ajalah soal itu. Bisa nanti-nanti.

Aku berbalik badan dan menatapnya, "Aku sayang sama kamu Ken, gak tau gimana dan kenapa. Pokoknya aku sayang."

"Dan jangan pernah ngomong hal-hal kayak tadi, aku gak suka. Aku bicara ini sebagai pacar kamu."

Kenny tersenyum dan mendekatkan dirinya kepada tubuh telanjangku. Aku reflek menahannya dan merapatkan selimut, "Eh jangan! Aku belum pake celana! Malu!"

Akhirnya aku mendengar Kenny tertawa lepas. Aku jadi ikut tersenyum. Begini saja cukup, melihat dia tertawa lucu sambil meledekku sepanjang malam, aku sudah senang meski dengan mata yang bengkak.

Tapi... Marc ke mana ya? Kok beneran gak pulang?

Little DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang