35. Salah Besar

10.1K 1K 126
                                    

*KENNY'S POV*

Akhirnya, aku bermain fisik juga.
Harusnya aku bertengkar dengan Adrian karena dia tiba-tiba datang tanpa alasan, tapi kepalan emosiku malah mendarat di wajah Mario.

Aku meminta pada Adrian nomor telepon Tasha dan cabut aja sendiri untuk menemuinya. Sungguh Mario sama sekali gak bijaksana.

Aku gemetar sembari menekan kopling dengan tangan kiri. Sedikit menangis karena aku takut semua yang Mario ucapkan itu benar adanya.

Karena helm full-face yang kukenakan, aku gak bisa menyeka air mataku. Tapi sepanjang jalan aku merenung, mana mungkin anak semanis Kairo bisa melakukan hal se.... se- apa ya? Aku gak bisa mendeskripsikan. Seaneh itu? Se-gak normal itu bisa menyukai Tasha, ibu dari sahabat baiknya sendiri.

Kalaupun iya, itu menjelaskan pertengkaran mereka di club waktu itu.

Ah.
Iya.
Aku baru sadar.
Ucapan Marc mengenai Kai yang suka tante-tante, jadi make sense untukku. Jadi maksudnya bukan aku, tapi Tasha.
Aku juga baru sadar kenapa Kairo telepon dan bilang Marc membencinya sejak mereka di Jakarta.
Aku ingin percaya sama Kai, tapi entahlah. Sisi hatiku mengatakan hal yang lain. Hatiku sakit tapi logikaku memaksa untuk mencari tahu yang sesungguhnya terjadi.

Akhirnya aku sampai pada rumah yang Tasha berikan alamatnya. Aku melihat mobil Adrian yang sudah bertengger manis. Sudah kuduga dia akan ke sini juga. Tapi aku gak peduli padanya sama sekali!

"Hai!" sapanya sambil tersenyum.

Menurutku, masalah tentang Kai yang ternyata adalah anak hasil selingkuhan itu sama sekali bukan urusanku. Itu adalah hal pribadi yang aku maklumi kenapa Kai belum ceritakan. Tapi soal Kai dan Tasha ini yang benar-benar mengganggu pikiranku sampai akhirnya aku berada ditahap ini, berhadapan dengan Tasha untuk mencari fakta.

Aku udah gak bisa lagi melihat Tasha dengan tatapan yang sama. Aku merasa gak suka juga sekarang. Gak sukanya aku meningkat berkali-kali lipat saat aku mendengar ucapan busuk anaknya, si Mario. Berani-beraninya wanita yang ternyata udah lebih dari setengah abad ini menjalin hubungan dengan Kairo juga? Apa Adrian gak cukup?! Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?

"Dengan segala hormat tante, aku datang untuk meminta penjelasan." ucapku tegas. Kusebut dirinya kali ini dengan sebutan yang sepantasnya.

"Ken, jangan panggil aku tante. Aku gak suka dipanggil kayak gitu."

"Aku merasa gak sopan memanggil kamu dengan sebutan nama. Kurasa kamu juga harus mulai dipanggil 'tante' supaya kamu sadar umur."

Senyum tercetak di bibir Tasha, "Mario bilang ke kamu soal Kairo ya?"

"Apalagi yang membuat aku datang ke sini?"
"Apa bedebah ini gak cukup buat tante?" setelah menunjuk wajah Adrian, aku melipat tangan.

"Jam berapa Merrick pulang?" tak kusangka dia malah berbicara pada Adrian.

Merrick siapa lagi sih?! Terlalu banyak manusia yang bikin aku pusing di muka bumi ini.

"Aku gak tahu." jawab Adrian.

"Aku bicara sama sama Kenny berdua, gapapa kan Dri?"

"Iya.." jawab Adrian sebelum mencium kening si tante dan pergi.

Aku mau muntah, padahal beberapa hari sebelum ini, dia datang dan bilang kalo dia mau membatalkan pernikahannya sama Tasha. Aku najis melihat Adrian, najis!

Tasha menangkap wajah 'mau muntah'-ku, dan dia kembali tersenyum kecut.

"Kamu pasti bingung ya karena waktu itu Adrian tiba-tiba ngajak kamu balikan, terus sekarang kamu lihat sikapnya kayak begitu?"

Oh Tuhan.. Dia dukun apa gimana sih? Darimana Tasha tahu kalau Adrian ajak aku balikan? Kenapa bisa tahu?
Sebenarnya, aku tuh masuk ke dalam apa sih? Drama korea? Masalah keluarga? Atau prank show?

"Iya. Sejujurnya aku udah bener-bener jijik dari sejak aku lihat kalian pertama kali."

"Aku maklum." jawabnya nyaris membuatku melongo.

"Aku gak peduli sama Adrian, aku mau tanya soal Kairo. Yang Mario bilang itu benar? Kalian berdua punya hubungan yang 'seperti itu'?" aku gak sabar lagi. Gak tahan lagi, ingin kuporak-porandakan orang-orang ini.

"Kenny, kuharap kamu jangan marah sama Kairo..." jawab Tasha.

Aku gak ngerti??
Maksudnya???

"Aku yakin kamu tau soal orang yang dia suka dulu sampai bikin mamanya marah besar? Mungkin Marc atau Kairo sendiri yang cerita?"

Aku mengangguk. Tasha melanjutkan, "Yang Kairo suka itu, aku."

Kutarik napas dalam-dalam, meredam emosi.

"Aku pura-pura aja gak tahu tingkah lakunya selama ini, aku anggap dia anakku, sama kayak Mario, Merrick, Marc."

Kali ini aku merasa tertampar saat Tasha mengangkat dan menyeruput minum dari gelasnya. Kulihat lagi tato angka romawi 3000 itu. Ternyata... itu bukan angka, tapi inisial.

M itu angka romawi dari 1000.
MMM artinya 3000.

Tapi aku salah, MMM ternyata Mario, Merrick, Marc. Inisial anak-anaknya. How can I so stupid gak menyadari ini? Kenapa aku gak menyadari wajah familiar Tasha yang ternyata mirip dengan Mario Marc? Aku baru percaya semuanya sekarang, omongan Mario. Dan aku lelah sama fakta ini. Aku gak tahu akan siap atau nggak mendengar yang selanjutnya.

"Tapi rasa sukanya dia sama aku bukan karena dia cinta dan ingin milikin aku seperti yang dia rasain buat kamu Ken. Makanya kubilang kamu jangan marah sama dia." Tasha menambahkan saat melihat wajah getirku.

"Terus?" kutelan ludah susah payah.

"Dia merasa seperti itu karena dia, tahu kalau dia adalah anak dari mamanya, Genevieve, yang selingkuh dengan suamiku, Hans." jawab Tasha.

"Semua rasa sukanya sama aku, hanya berdasarkan perasaan bersalah. Aku yang tadinya benci, merasa iba melihat anak semuda Kairo bisa setegar itu menghadapi rasa pahit. Apa dia pernah cerita tentang papanya?"

"Kayaknya belum ya? Kamu mukanya bingung gitu." Tasha tersenyum.

Tasha menjelaskan kepadaku tentang semuanya. Tentang Kairo, Adrian, Mario Merrick Marc, mamanya Kai yang berselingkuh, semuanya.
Akan kuceritakan nanti, karena sekarang aku masih harus mencerna semuanya perlahan-lahan.

Dan air mataku meleleh tak terkendali. Aku sangat bersyukur mengikuti logikaku dan bukannya hatiku. Untungnya aku belum menyerang Kairo tanpa kutahu fakta yang sesungguhnya.

Aku pulang membawa perasaan sakit hati yang begitu besar. Merasakan perih yang Kairo rasakan.

Tangisku benar-benar pecah saat kulihat Kairo yang duduk di depan pintu rumahku sambil membenamkan wajahnya dan memeluk lututnya.

"Kairo..." kusapa, dan dia mengangkat kepalanya. Dia menangis, sama sepertiku. Ekspresi wajahnya hancur. Entah apa yang terjadi sama dia. Mungkin berantem sama mamanya akhirnya?

Kairo berdiri dan aku menyambut pelukannya. Aku membelai punggungnya, menerima semua isakan tangisnya.

Aku selalu berpikir Kairo adalah anak manja yang hanya dengan meminta dia bisa mendapatkan segalanya. Aku selalu berpikir Kairo kekanakan dan harus belajar sepertiku. Tapi setelah menjalaninya dan masuk ke dalam hidupnya, aku salah besar. Akulah yang seharusnya belajar banyak darinya...

Little DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang