7.Di dalam Istana

2.2K 177 13
                                    

Melihatmu tertawa, sehat, dan Riang gembira sudah lebih dari cukup bagi ku.

Sungguh tak apa.....
meski bukan aku penyebabnya.

******

Disinilah Aliya sekarang. Seperti biasa, datang terlalu cepat. Kantor masih cukup sepi sekarang karna masih terlalu pagi untuk datang ke kantor. Itulah kenapa Security kantor masih belum berganti ship mereka.

Didepan Aliya berdiri sekarang terpampang sebuah pintu kayu bertuliskan 'STUDIO REKAMAN'
'SELAIN STAFF, Di LARANG MASUK'. Di pandanginya pintu kayu itu cukup lama. Di usapnya huruf hangeul di pintu itu, rasa dingin di telapak tangannya membuatnya nyaman.

Nyaman,Seperti itulah rasanya kali pertama ia datang ke kantor mewah itu. Membuatnya kembali teringat akan kenangan manis pertamanya dengan tujuh pria mempesona Bangtan di balik pintu kayu itu.

Membuatnya kembali tersenyum dan berkata lirih dalam kesunyian.
"The King savage...." tiga kata itu selalu membuat perutnya penuh dengan kupu-kupu dan wajahnya memanas karna malu serta lucu. Membuatnya kembali teringat projek pertama mereka, dan mungkin satu-satunya.

****

Pagi itu, setelah kedatangan tamu agung yang tak di harapkan olehnya membuat Aliya jengkel semalaman. Apalagi mengetahui Momo juga ikut andil dalam hal ini. Jadilah sekarang dia hanya mematung dengan wajah cemberut penuh pergolakan di hatinya. Wajahnya menatap nanar keluar jendela kaca ruang baca, menyaksikan anak-anak lebih besar bermain di halaman dan mengusap lembut kepala Juju yang tengah mencoba membaca buku dongeng binatang kesukaannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 08.25 kst. Tapi Aliya tetap belum bergerak sekalipun dari posisinya duduk sejak 2 jam lalu.
Bukannya ia tak tau pukul berapa sekarang, ia hanya masih belum menggerakkan hatinya untuk berpaling ke keputusan itu. Hatinya masih pedih, sekaligus gamang.

"Kak," sebuah panggilan lembur dari Momo memecah lamunannya.

"Hemm?" Gumam Aliya menjawab panggilan sang adik. Matanya tak berubah, masih sama sayunya memandang keluar jendela. Posisinya tak bergerak sedikitpun, masih duduk bersila menopang dagunya dengan tangan kanannya.

"Apa kakak tak ingin mencoba sebentar saja membicarakan hal ini dengan mereka, aku tau tak mudah bagi kakak sampai di titik ini....," Momo berucap sambil mendudukan dirinya di lantai, menyandarkan punggungnya di dinding kursi. Memunggungi sang kakak, tak mau melihat lagi wajah sedih sang kakak yang harus di hadapkan lagi dengan candunya.

Membuatnya kembali teringat dengan kenangan hampir setahun lalu ketika kakaknya duduk di dalam kegelapan kamarnya dengan keadaan berantakan. Laptop masih menyala di atas meja kecilnya, tapi si pemilik sudah meringkuk di sudut ruangan yg gelap, pahanya yg tertutup celana kain sudah penuh dengan darah, bajunya sudah berantakan, hijab yg selama ini menutupi kepalanya dan memberinya kekuatan pun kini sudah berserakan entah kemana.
Aliya hancur, wajahnya sembab penuh air mata, matanya merah penuh kecewa. Kalau Momo tidak keluar untuk mengambil minum dan mendengar isakan tertahan dari kamar mungil Aliya, selamanya mungkin tak ada yg tau seperti apa hancurnya Aliya selama ini mecintai seseorang dengan sepihak.

Saat malam itu juga Nindy datang untuk kesekian kalinya ke Korea. Kalau biasanya Nindy datang dengan tawa dan bahagia untuk menemui sahabtnya, maka hari itu Nindy datang dengan murka. Bagaimana tidak? Sahabtnya sampai melukai dirinya sendiri(dalam hal ini, pahanya) karna melihat biasnya pergi dengan wanita lain. Nindy tau betul perasaan sahabatnya bukan sekedar perasaan menggebu seorang fans pada idolanya. Nindy tau Aliya bukan seperti fans labil di luar sana yg suka menguntit kemana pun idol mereka pergi lalu melakukan imajinasi-imajinasi mengerikan di tempat idol mereka pernah singgah. Bukan, Aliya bukan seperti itu. Dia mencintai mereka dengan Tulus, mendukung mereka sebisanya, menggerakkan jutaan fans lain dengan tulisan atau artikel-artikel baik tentang biasnya. Mencari kepastian tentang rumor miring mereka meski menghabiskan waktu berhari-hari hingga membuat kantung matanya melebar dan hitam.
Memberi ucapan selamat pertama kali saat mereka mendapat penghargaan. Lembur semalaman mengupdate semua akun resmi social media ARMY di seluruh dunia. Begitulah bentuk dukungannya, tanpa pamprih, tanpa penyesalan, tanpa beban. Hanya terus mendukung, menunggu, dan mendoakan. Meski banyak orang di sekitarnya menolak, mencemooh, atau bahkan membenci sikapnya, ia tak peduli.
Yang penting bukan biasnya yg di hina. Selalu begitu jawaban Aliya.

My Frozen Idol[End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang