Chapter 8

423 15 2
                                    

***

Sean terbangun dengan kepala pusing. Tubuh dan pikirannya terbiasa waspada, hingga begitu sadar ia langsung membuka mata dengan tangan siap memukul. Tapi seketika ia tersadar tempat ia berbaring. Ranjang rumah sakit.

Seakan disengat lebah. Matanya membelalak. ASHLEEN !!

Sean menuju pintu. Berlari keluar menuju IGD. Tak perlu heran dia tahu setiap denah rumah sakit ini karena dia yang merancangnya.

Sean terengah. Dia sampai diluar ruangan IGD. Ia menatap nanar kedalam ruangan yang tampak kosong. Dadanya seakan dihantam palu godam. Langkahnya mulai limbung. Terjajar ke belakang hingga menabrak dinding. Dia menggigit kepalan tangannya menahan tangis. Tak peduli orang-orang melihatnya. Sean jatuh terduduk. Lehernya terasa seakan tak bertulang sampai tak mampu menahan kepalanya yang mendadak terasa seberat batu. Sean tertunduk dengan tangan menahan kepalanya. Menangis.

Sebuah sentuhan lembut mendarat di bahunya. Ia mengangkat kepala susah payah. Casie berdiri disampingnya. Tersenyum. Sebuah binar harapan terpancar di matanya.

.
.
.
.

Sean berdiri menekankan keningnya ke jendela kaca sebuah ruangan. Dibalik kaca itu, Ashleen terbaring. Masker oksigen menutup hidung mancung dan bibir indahnya. Alat detektor jantung menampilkan irama jantungnya yang lemah. Berbagai alat penunjang kehidupan menempel di tubuhnya. Koma.

Casie memberitahu kabar itu pada ayah Ashleen yang ada di luar negeri. Walau bagaimanapun Ashleen masih punya satu-satunya keluarga yang ia miliki yaitu ayahnya.

Casie datang menghampiri. Berdiri disampingnya. Matanya memandang ke sosok rapuh Ashleen.

"She's strong." ucap Casie tersenyum getir.

Sean terdiam. Ia tak mampu bicara apa-apa saat ini. Semua yang dia rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mulutnya bahkan terasa pahit untuk sekedar menelan ludah.

Seorang laki-laki berjas putih menghampiri mereka. Wajahnya yang sudah tak muda lagi masih terlihat tampan dengan garis senyum di sekitar matanya.

"She's doing good, Sean." ucapnya.

Sean menoleh. Tersenyum samar, "Thank you, Steve..." ucapnya pelan.

Steve Connor, paman Sean seorang dokter senior di rumah sakit itu. Yang menangani Ashleen.

Steve menepuk bahu Sean.
"Beristirahatlah, son." ucapnya seraya berbalik badan hendak pergi.

"Apa dia..akan bertahan?" tanya Sean.  Nada khawatir jelas terdengar dari suaranya yang bergetar.

Steve kembali menghadap Sean.
"Are you kidding? She's almost passed away but no." ucap Steve tertawa kecil. Ia menoleh kedalam kaca.
"Sena bermain dengan gadis yang salah, Sean...dia tidak layak menyisakan jejak apapun bahkan padanya..." lanjut Steve tersenyum.

Sean berpaling cepat. Menatap Steve. Mulutnya terbuka hendak bicara. Tapi tertahan.

Steve menepuk bahu Sean dengan tegas.
"Dia kuat, Sean...dia layak jadi bagian keluarga Connor bahkan jika dia tidak bersamamu..."

Steve berbalik pergi. Kembali menjalankan tugas.

Sean masih terpaku. Ia tercekat sungguh.

Pure Girl ( OnGoing-Revisi )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang