Gadis itu berjalan cepat, melangkahkan kaki di koridor dengan rahang yang mengeras. Sorot mata tajam penuh emosi itu mampu membuat siapapun yang dilewatinya refleks menepi memberi jalan.
Ciara memasuki ruang guru, melangkah lebar menuju satu meja. Gadis itu menarik nafas lalu menghembuskannya kasar.
"Bu Maya," panggilnya pelan dengan ekspresi datar.
"Eh Ciara? Ada apa? Duduk dulu sini," ujar Bu Maya mempersilahkan.
Wanita paruh baya itu tersenyum ramah, kini jadi fokus menatap anak muridnya itu.
"Bu saya mau protes," ujar Ciara to the point membuat Bu Maya mengangkat sebelah alis merasa bingung.
"Protes apa?" sahutnya tak mengerti.
Ciara menghela nafas berat, mengontrol diri coba tak emosi.
"Saya gak terima teman duduk saya diganti Bu. Masa Pak Adam dengan seenaknya nyuruh Dita pindah dan anak baru itu jadi duduk di sebelah saya," ujarnya tanpa sadar sudah sewot sendiri.
"Bentar bentar, jadi kamu gak terima karena kamu gak duduk bareng Dita lagi, gitu?" tanya Bu Maya mulai menyimpulkan.
Ciara mengangguk mantap, membenarkan dugaan wali kelasnya itu.
"Ya jelas saya gak terima lah Bu. Kan dari awal emang gak ada sistem rolling tempat duduk makanya bebas milih chairmate, lah ini kenapa jadi dipindah gitu? Lagian Pak Adam bukan wali kelas, jadi gak ada hak lah." Ciara berujar menggebu, mulai protes dengan ketidakadilan yang dialaminya.
Bu Maya menghela nafas berat, menipiskan bibir begitu saja.
"Gini deh, kamu ceritain dulu kronologi kejadiannya sama Ibu." ujar Bu Maya menyarankan.
"Ya gitu Bu, Pak Adam tau tau nyuruh Dita pindah dan anak barunya suruh duduk di sebelah saya." balas Ciara sudah merenggut sendiri.
Bu Maya nampak berpikir, mengetukan jarinya ke atas meja dengan bola mata yang kesana kemari.
"Kalo menurut Ibu Pak Adam gak mungkin tiba-tiba gitu kalo kamu gak mulai duluan. Jujur deh sama Ibu, kamu ada salah apa sama beliau?" Bu Maya memicingkan mata, mulai menuntut jawaban dari muridnya itu.
Ciara yang hendak membuka mulut melayangkan protes jadi merapatkan bibir. Gadis itu diam-diam menelan ludah, menggigit bibir bawahnya mulai ciut begini.
"Ya saya cuma nempelin kepala doang Bu di meja pas dia masuk," cicit Ciara, tanpa sadar sudah menurunkan intonasi bicaranya.
Bu Maya menghela nafas kasar. Pantas saja Pak Adam melakukan hal itu, kan ini sudah jelas salah Ciara.
"Ya itu salah kamu Ciara, yaudah gak usah protes." sahut Bu Maya tanpa sadar sudah mendelik kecil.
"Ih kan saya gak tidur Bu. Cuma nempelin kepala doang. Pak Adam aja tuh yang sensi, lagi PMS kali." belanya jelas tak ingin disalahkan.
Bu Maya berdecak pelan, melipat tangan di depan dada seakan menghakimi.
"Ya mau gimana juga Ibu gak bisa bela kamu Ciara, karena disini jelas kamu yang bersalah." ujar Bu Maya sudah gemas sendiri.
Ciara mengerucutkan bibir, kini sudah murung sendiri. Bu Maya yang melihat itu jadi tak tega. Wanita paruh baya itu menghela nafas berat, coba menjelaskan semuanya dengan bijaksana.
"Yasudah kamu terima saja Ciara, mungkin ini sudah takdir," ujar Bu Maya tiba-tiba membuat Ciara yang tadi sedang membuang muka jadi menoleh dan mendelik kecil.
"Lagi pula kenapa sih kamu gak mau duduk bareng sama si anak baru? Bukannya dia ganteng? Harusnya kamu seneng dong," ujar Bu Maya tak paham sendiri.
"Ih dia tuh nyebelin Bu. Emang sih keliatannya kalem, tapi Ibu aja tuh yang gak tau aslinya." ujar Ciara mencibir sebal.
Bu Maya mengangkat sebelah alis, kemudian mencari sesuatu tanpa berniat menanggapi ucapan Ciara.
Ciara mendengus pelan, memalingkan wajah makin dongkol begini.
***
A/n:
Widiw udah satu skul sekarang:v kalo kalian nanya 'loh kok kurirnya masih sekolah?' kalo penasaran makanya baca sampe abis:v
Salam pretty,
Park safia korapat mendes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir My Love✔
Teen Fiction(COMPLETED) [ALKANA SERIES] Jika setiap orang sangat menanti datangnya kurir paket, maka berbeda halnya dengan Ciara. Ciara benci kurir, apalagi kurirnya pemuda itu. selengkapnya bisa langsung ke prolog..