"GUE CUMA MAU MINTA MAAF!" Natusa berhenti berlari dengan tangan yang mengepal.
Farhan menoleh ke arah Laser yang juga berhenti berlari, namun tidak berbalik. Farhan menatap Natusa lagi dengan firasat buruk yang mulai memenuhi hatinya.
"Sorry," Natusa memelas, "kalung lo ilang."
"Ilang?" Laser berbalik, menampakkan wajah menyeramkan dengan langkah perlahan mendekati Natusa. Ini yang membuatnya susah percaya dengan orang lain! Selangkah, dua langkah, tiga langkah, Laser hendak menyuarakan kemurkaannya sampai Natusa mengelak dengan tegas, "nggaklah! Gue bohong!" Natusa cepat-cepat mundur menjauhi Laser. Awalnya ia tidak ingin mengakui secepat ini. Ia ingin tahu seberapa berharganya kalung itu dan ingin melihat ekspresi panik Laser yang kehilangan kalung itu. Tapi niatnya segera berubah ketika melihat wajah Laser yang kalut. "Kalungnya aman. Di kamar gue."
Laser langsung lega sekaligus lemas. Menatap Natusa tidak suka, ia berkata, "gue nggak suka lo bercanda kayak gini!" Jika kenangan bisa dijadikan lelucon tak berarti, untuk apa kenangan tercipta seiring berjalannya waktu.
Natusa menatap manik mata Laser yang berkilat gemas. Ia mencari kata yang tepat untuk membela dirinya sejenak, dengan senyum yang jarang ditampakkan ia mengatakan, "lagian, lo ngapain lari-larian sih? Takut gue suruh-suruh? Gue cuma mau nanya, lo udah waras belum?"
Farhan hampir saja menyemburkan tawa ketika mendengar pertanyaan Natusa. Ditambah lagi ekspresi Laser yang menganga tak percaya membuatnya berdehem untuk menetralisir tawa yang membuat tenggorokannya berkedut.
Melihat tingkah laku Farhan membuat Laser tidak nyaman. Ia mengalihkan tatapannya pada Natusa lalu memajukan wajahnya lebih mendekat. "Gue nggak pernah gila." Ujar Laser dengan suara dalam.
Menatap ke arah lain, Natusa menganggukkan kepala beberapa kali seolah mengerti. "Oke. Sekarang gue yakin lo udah waras."
Natusa berlalu meninggalkan Laser yang masih setia dengan tampang lempengnya. Setelah Natusa menghilang dari pandangannya, ia baru teringat bagaimana Natusa merawatnya kemarin.
^^^
Suara binatang-binatang kecil memecah keheningan malam. Natusa yang merasa bosan berada di rumah, ia berjalan mengitari taman. Dengan langkah lambat yang konsisten, ia memetik bunga mawar yang sudah mekar. Lampu taman yang bersinar terang masih tidak bisa menyaingi pancaran binar di matanya. Tetapi berbeda dengan suasana hatinya yang suram. Tidak tahu mengapa, Natusa merasa tidak nyaman dengan hembusan angin malam yang menerpa.
Lampu mendadak padam ketika Natusa baru mendudukkan diri pada kursi taman. Kegelapan mulai merayap. Meraba sekitar, ia beranjak pulang dengan langkah yang merambat pelan.
Beberapa pasangan yang tadinya sedang berkencanpun pulang karena pemadaman ini. Tidak melihat jalan lain, ia memilih mengikuti beberapa orang itu sampai kakinya tersandung sesuatu yang sangat besar. "AW!" Ia berusaha menyeimbangkan badan yang oleng.
Lampu menyala. Cahaya yang terasa sangat menyilaukan segera membuatnya mengerjap.
"LO?" Natusa berjingkat kaget saat matanya sudah mulai menangkap semua objek dengan jelas. Entah kebetulan atau takdir, lagi-lagi Laser muncul kala semuanya terasa janggal. Tapi, kali ini bukan lagi mimpi. "Ngapain lo di sini?"
Dengan alis yang menyernyit, Laser tidak segera menjawab. Ia juga sama herannya seperti Natusa. Mengapa Natusa bisa ada di taman ini padahal jauh dari rumah Natusa.
"Lo pikir cuma lo yang butuh udara segar?" Natusa mencibir mendengar ucapan Laser yang menjengkelkan. "Lo---" Natusa tidak lagi melanjutkan ucapannya ketika lampu kembali padam. Ia bisa mendengar decakan kesal Laser sebelum suara maskulin itu memasuki inderanya. "Ini tukang PLN-nya umur berapa sih kok masih mainan lampu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Find A Way to My Heart (SUDAH TERBIT)
Novela JuvenilMimpi adalah bunga tidur. Namun bagaimana jika mimpi menghantuimu, mengekangmu pada setiap sudut kesunyian, menjebakmu tanpa tahu jalan keluar? Mimpi rasa nyata. Masihkah kamu berani tidur? *** Laser kena getahnya juga! Salah sendiri jadi cowok usi...