Chapter 11 : Apology

445 55 5
                                    

Tak di rumah, itu yang Lisa lakukan sekarang. Semenjak bertengkar dengan Jisoo malam itu, ia tak kembali kerumah ataupun apartement miliknya. Karena jika ia disana, maka akan dengan mudah ia ditemukan oleh Jisoo ataupun Bobby.

Hari ini pun Lisa tak berangkat ke kantor, tak perduli jika nanti ia dimarahi. Ia hanya ingin menenangkan diri dari semuanya, menyembuhkan rasa sakit hatinya, membiasakan diri dengan kenyataan yang mungkin sangat tak bisa ia terima dengan mudah.

Sejak malam itu, ponselnya sangat berisik karena pesan dan panggilan yang masuk terus menerus setiap jamnya, hingga ia membisukan ponselnya agar tak berisik.

Ia benci pada semesta, mengapa mengirim kesakitan yang begitu dalam hingga menggores hatinya seperti ini? Dari ribuan wanita mengapa harus sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai kakak.

Lisa memundurkan badannya hingga punggungnya menyentuh kepala ranjang, duduk dengan memeluk kakinya rapat. Matanya kembali mengeluarkan liquid bening yang membasahi pipinya, hampir setiap jam ia menangis karena memikirkan kejadian malam itu.

Hatinya seakan sudah tak utuh, sudah pecah tak beraturan menjadi serpihan yang entah apakah bisa di satukan lagi atau tidak. Lisa memegang sebelah dadanya, rasa sakit itu terasa sangat nyata. Luka yang tak berdarah memang paling menyakitkan.

Lisa melihat ponselnya yang sedari tadi tak berhenti berkedip, ia melihat nama Jisoo disana. Ia sebenarnya menyesal mengatakan bahwa dirinya membenci Jisoo, ia tak benar-benar bisa membenci orang yang sudah ia anggap kakaknya itu.

"Hikss..Jisoo gue minta maaf." lirihnya.

Lisa kembali membenamkan wajahnya diantara tangan yang memeluk kakinya itu, ia ingin sekali menerima panggilan dari Jisoo. Namun hatinya terlalu sakit mengingat kenyataan bahwa Jisoo adalah orang yang Bobby cinta bukan dirinya.
.

.

Jisoo berdecak, ia sudah beberapa kali menelfon Lisa tapi dia tak pernah mengangkat. Bahkan dari malam itu ia tak absen untuk menelfon dan mengirim pesan padanya. Tapi tetap saja tak ada balasan sama sekali darinya.

"Gimana?"

Ia menggelengkan kepalanya, mendudukan badannya dan mengusap wajahnya pelan, Jisoo harus bagaimana agar Lisa mau berbicara dan menemuinya.

"Gak papa, kita usaha terus ok?"

Bobby mendekat pada Jisoo, mengelus punggung wanita disampingnya. Memberi semangat agar tak putus asa untuk membuat Lisa bertemu dengannya.

"Dia sekarang ada dimana Bob? Gue khawatir, gak balik kerumah, dan apartement dia pun kosong." ucap Jisoo pelan.

Bobby hanya tersenyum masam, ketika wanita yang sudah mengambil hatinya ini sedang terpuruk tapi dia tak bisa melakukan apa-apa, itu sangat memalukan.

Rasa bersalah itu kembali menghampiri Bobby, karena memang pertengkaran Jisoo dan Lisa tak jauh karena kesalahan Bobby. Dia mengacak rambutnya, menghilangkan bayangan atas rasa bersalahnya.

Dia kembali menatap Jisoo dan menyuruhnya kembali menelfon Lisa, ia mengangguk mengiyakan ucapan Bobby.

Beberapa kali ia menelfon Lisa tetap tak diangkat, hingga panggilan terakhir ia bangkit dari duduknya. Lisa menerima panggilannya, tapi tak ada suara Lisa disana.

"Hallo, Lisa!"

"..."

"Lis, jawab gue. Lo dimana?"

"..."

"LISA!!"

"Hikkss.."

"LO DIMANA LIS, JAWAB GUE."

"G-gue---"

Belum sempat menjawab, sambungan ponsel itu terputus dan selang beberapa detik ada pesan masuk dari Lisa. Tanpa basa basi Jisoo segera berlari namun ditahan oleh Bobby.

"Kemana?"

"Gue tau Lisa dimana."

"Sama gue." Jisoo mengangguk.

Mereka langsung masuk ke mobil dan menuju tempat Lisa berada.

.

.

Lisa melempar ponselnya asal, benteng yang menutupi pikirannya sudah ia hancurkan, ia sudah mengesampingkan egonya. Lisa sudah menerima panggilan dari Jisoo, dan mengirimkan pesan pada Jisoo. Ia sudah bisa mendengar dari suaranya bahwa Jisoo sangat mengkhawatirkan dirinya.

Ia harus bisa melupakan segalanya tentang Bobby, dan ia harus mulai menerima kalau kenyataan memang sudah menampar dirinya untuk segera sadar.

Lisa tak ingin kehilangan Jisoo, karena ia tak mungkin menemukan orang yang seperduli Jisoo di dunia yang seluas ini.

Tak apa jika perasaannya sekarang atau selamanya akan terluka, ia mungkin akan terbiasa dengan rasa sakit seperti ini nantinya.

Tak lama ia mendengar bel dan ketukan cukup keras pada pintu hotelnya. Ia ingin segera membuka namun ia urungkan.

Langkahnya sedikit demi sedikit sudah dekat dengan pintu, tangannya sudah menempel pada knop pintu dan ia bisa mendengar suara sahabatnya sedang memanggil namanya dengan suara bergetar.

Kemudian Lisa membuka pintu itu perlahan, kepalanya menunduk tapi masih bisa melihat siapa saja yang datang. Yah kedua sahabatnya datang, Jisoo dan Bobby, ia berniat kembali menutup kembali pintu itu namun sudah ditahan oleh Bobby.

Jisoo dengan paksa mendorong pintu dan menubruk badan Lisa, memeluknya dengan erat dengan tubuh bergetar.

"Lis, gue khawatir..hikkss.."

"Lo kenapa gak pulang, ngapain lo disini..hikkss.."

Lisa tak kuasa menahan tangisnya, ia membalas pelukan Jisoo dan menangis bersama. Air mata mereka bisa menjelaskan semuanya, bahwa sebesar apapun masalahnya mereka tak akan bisa saling membenci.

Jisoo menuntun Lisa untuk duduk dipingir ranjang dengan dirinya, ia menginginkan Lisa mendengarkan ucapannya namun dia menggeleng dan tersenyum.

"Lo gak salah. Disini gue yang udah gak tau diri Jis. G-gue M-minta M-maaf." ucap Lisa gagap.

Jisoo menggeleng, lalu mengusap punggung Lisa. "Lo juga gak salah, itu semua karena perasaan lo yang bercanda. Gue juga ngerti kalo gue diposisi lo Lis."

"Gue juga minta maaf." lanjutnya.

Mereka saling menyalurkan rasa sayangnya lewat pelukan hangat seperti keluarga.

Bobby berdehem, membuat keduanya menoleh pada Bobby yang tersenyum.

"Lis--"

"Gue minta maaf Bob."

Ucapan Lisa sudah lebih dulu memotong, Bobby kemudian mendekat pada Lisa dan memeluknya erat. Lisa menangis di pelukan Bobby, ia merindukan pelukan ini. Tapi sekarang ia tak begitu senang seperti dulu saat pertama kali Bobby memeluknya.

Lisa mendongak dan menarik Jisoo juga untuk saling memeluk. Mereka menyalurkan kehangatan dan rasa sayang mereka lewat pelukan. Untuk kali ini saja mereka melupakan ego masing masing dan masalah siapa yang mencintai siapa. Mereka hanya membutuhkan sebuah kehangatan dan kenyamanan layaknya sebuah keluarga sekarang.

***

See u in next chapter.

My Serendipity; Bobsoo [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang