1

1.4K 53 8
                                    

PUTRI JUNJUNG BUIH

“Jadilah Raja di kerajaan ini.”

Pria yang sedari tadi berdiri dengan kepala tertunduk itu menegang, dalam hitungan detik berusaha untuk meyakinkan diri bahwa dia tidak salah dengar. Sadar kalau pendengarannya tidak bersalah, si pria berkulit hitam segera bersujud, kedua kaki rapat, kepala ditundukkan semakin dalam.

“Yang Mulia, hamba tidak berhak untuk menerima berkat sebesar itu. Mohon tarik titah Yang Mulia.”

Nada suaranya memang tidak berubah, tapi pikiran pria tersebut kacau seketika. Memangnya siapa dia sampai ratu memintanya untuk menjadi raja? Dia hanyalah seorang pedagang kampung.

“Empu Jatmika ….” Panggilan sang ratu membuat Empu Jatmika mengangkat kepala sejenak, lalu kembali menunduk, membuat wanita itu mengulum senyum. “Alasan aku dan Raja mengangkatmu sebagai anak karena kami ingin kau menjadi penerus kami. Aku tahu dengan apa yang aku lakukan. Kau terbaik dari seluruh calon yang mungkin ada di dalam pikiranmu.”

“Yang Mulia ….” Empu Jatmika tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia hanya tidak habis pikir, bagaimana seorang pedagang dari kampung seberang menjadi raja dari kerajaan ini?

Dulu … beberapa tahun lalu, dia adalah penduduk Kerajaan Majapahit. Saat itu Empu Jatmika hanya seorang pedagang biasa, kalah saing dengan pedagang besar yang lebih menguasai pasar. Akhirnya, Empu Jatmika memutuskan untuk merantau, berencana untuk berdagang sambil berpindah-pindah tempat.

Tahu dengan niat sang anak, ayah Empu Jatmika berpesan, kalau dia boleh melakukan apa yang telah dia rencanakan. Akan tetapi, jika nanti Empu Jatmika sampai di tanah yang cuacanya sangat panas, maka dia harus menetap di sana.

Dengan modal kapal milik ayahnya dan barang dagangan yang sebagian diberikan oleh sang ayah, Empu Jatmika mulai berdagang setiap pelabuhan dan pasar yang ia lewati. Hingga dia tiba di Amuntai, ibukota dari Kerajaan Kuripan.

“Kau hidup dengan mereka. Aku tahu sebesar apa bantuanmu untuk rakyat negeri ini, bahkan sejak kau hanya seorang pedagang sampai menjadi seorang Mantri Sakai.” Ratu Kuripan bangkit dari singgasananya, berdiri untuk mendekati Empu Jatmika.

“Aku tidak akan memberikan titah karena hal itu akan menjadi kewajiban untukmu, tapi aku akan memberikan waktu. Pikirkanlah, Jatmika. Aku sudah tidak memiliki Raja. Aku juga sudah tua untuk memimpin negeri.”

Menolak permintaan ratu sama seperti meludah ke langit. Meski dia diberi waktu untuk berpikir, tetap saja keinginan penguasa negeri ini akan terkabul. Akhirnya Empu Jatmika berkata bahwa dia butuh waktu sekitar seminggu untuk memikirkan.

Dengan perasaan kalut, Empu Jatmika kembali ke Candi Agung, tempat yang ia bangun setelah memutuskan untuk menetap di Amuntai—tentu setelah mendapat izin dari Raja. Memang cukup aneh sebenarnya, saat orang lain hanya perlu menancapkan kayu untuk membuat rumah, Mantri Sakai sebelumnya justru menyuruh Empu Jatmika untuk meminta izin pada Raja agar diperbolehkan membuat tempat bernaung, Candi Agung.

Dengan alasan kalau Empu Jatmika hidup sebatang kara, Ratu Kuripan mengangkatnya sebagai anak beberapa bulan kemudian. Ketika perdagangannya semakin besar, Raja memberikan jabatan Mantri Sakai untuknya, jabatan seorang kepala wilayah.

Empu Jatmika menepis pikiran kalau dia beruntung berada di tempat ini. Dia lebih memercayai kalau usaha dan kerja keraslah yang membuatnya bisa berhasil seperti sekarang. Siapa yang pernah menduga, pedagang kecil yang dulunya menyerah di kampung sendiri malah menjadi kepala wilayah di kampung orang lain.

PseuCom

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang