Mengenal Raja Lambung Mangkurat sejak beliau masih berusia sepuluh tahun, Datuk Pujung tahu pasti kalau dia menolak, maka rajanya ini akan memberikan seribu alasan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Lagipula, sepertinya mereka memang harus menyelamatkan bayi ini jika tidak ingin si bayi mati.
“Datuk, apa kau bisa mengambil keranjang itu dan membawanya ke sini lebih dulu?”
Permintaan Lambung Mangkurat disanggupi Datuk Pujung tanpa sanggahan. Pertama-tama, mari bawa bayi itu ke daratan terlebih dahulu. Datuk Pujung berniat mengangkat kedua sisi keranjang paikat si bayi setelah dia masuk ke sungai, riak air yang sedari tadi menggerakkan keranjang perlahan mengeluarkan buih seperti air mendidih, menyusahkan Datuk Pujung untuk meraihnya.
“Yang Mulia, hamba tidak bisa mengambilnya. Keranjangnya bergerak ke mana-mana,” ucapnya setelah mundur beberapa langkah.
Lambung Mangkurat membenarkan ucapan Datuk Pujung. Dia melihat bagaimana riak air berubah lebih besar dari sebelumnya, padahal tadi masih cukup kecil. “Datuk—”
“Kau ingin membawaku?”
Mengerutkan kening, lalu menoleh ke kiri dan ke kanan, Lambung Mangkurat hanya mendapati rombongannya. Jantungnya berdegup kencang, Lambung Mangkurat langsung bisa mengenali suara itu, suara yang sama dengan yang membisikinya untuk bertapa.
“Datuk Pujung, apa kau mendengar suara perempuan tadi?” tanyanya. Lambung Mangkurat merasa harus memastikan kalau dia tidak salah dengar.
Datuk Pujung berdiri menyamping, di sebelah kiri ada keranjang bayi, di sebelah kana nada Raja Dipa, berusaha untuk tetap mengawasi si bayi dan memerhatikan sang Raja. Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya, “Suara apa, Yang Mulia?”
Kerutan dahi Lambung Mangkurat semakin dalam. Dia berbalik pada pengawal yang sedari tadi berdiri di belakangnya. “Kalian mendengar suara perempuan?”
Jawaban berbeda dengan makna serupa membuat Lambung Mangkurat kembali memfokuskan pandangan pada keranjang paikat berisi bayi perempuan.
“Kau bisa membawaku, aku akan menjadi seperti apa yang kau inginkan. Namun … aku memiliki syarat.”
Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung. Lambung Mangkurat melebarkan mata saat menyadari suara siapa yang kini menggema di dalam kepalanya. Bulu roma di sekujur tubuh Lambung Mangkurat seketika berdiri.
“Aku akan menjadi anakmu, tapi kau harus menjemputku dengan iring-iringan 40 orang dayang berpakaian serba kuning yang membawa 40 jenis makanan.”
Melihat raut terkejut di wajah Raja, Datuk Pujung segera bergerak untuk keluar dari air. Akan tetapi, saat itu Lambung Mangkurat mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Datuk Pujung untuk diam.
“Aku ingin diangkat dari keranjang ini menggunakan selimut kain yang dibuat selama setengah hari. Jika kau tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tidak bisa ikut denganmu untuk pulang ke rumah.”
Mendengar kata rumah, Lambung Mangkurat seketika teringat dengan ucapan Ratu Kuripan sebelum dia berangkat untuk bertapa. Raja Dipa tersebut segera memahami kejadian apa yang ada di hadapannya sekarang.
Tanpa membuang waktu, Lambung Mangkurat segera meminta Datuk Pujung pulang bersama dua orang pengawal ke kerajaan. Dia menjelaskan apa saja yang harus Datuk Pujung persiapkan. Tetua istana tidak membantah apa yang diucapkan sang Raja dan hanya menurut.
“Datuk Pujung, sampaikan pesanku pada Yang Mulia Ratu Kuripan. Aku meminta tolong pada Baginda Ratu agar beliau membuatkan sebuah selimut yang harus selesai dalam waktu setengah hari.”
Setelah Datuk Pujung pulang, pengawal yang tertinggal sempat bertanya di antara masing-masing, apakah Raja hanya akan berdiam diri dan membiarkan bayi itu kedinginan di sungai? Namun, jawaban dari pertanyaan itu hanya ada di dalam kepala Lambung Mangkurat.
“Kau tidak akan bisa mendekati, apalagi menjangkauku, tanpa memenuhi semua persyaratan yang aku berikan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Fiksi SejarahAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019