Daerah yang dipimpin oleh Mantri Jahan adalah Candi Laras, tempat yang dulunya menjadi ibukota Kerajaan Kuripan, sebelum berpindah ke Candi Agung. Melakukan pembangunan daerah lebih dahulu daripada daerah lain, membuat penerus Mantri Sakai terdahulu, Mantri Jahan, hanya perlu meningkatkan kemakmuran penduduk dari berbagai bidang.
Keberhasilan yang dicapai oleh Mantri Jahan, serta ayahnya, membuat salah satu saudagar beras di wilayah tersebut iri. Dia beranggapan kalau mereka menjabat sebagai Mantri Sakai pasti karena sudah bermain curang di belakang. Melakukan praktik perdukunan agar pejabat kerajaan mengangkat mereka sebagai kepala daerah.
Merasa diri lebih mampu, lebih kaya, dan lebih berani, Saudagar Isar segera pergi ke dukun. Benaknya menyakini kalau Mantri Jahan harus merasakan bagaimana sakitnya dampak dari perdukunan yang ia lakukan. Ibarat kucing, dikasih ikan asin, mana nolak. Kalau Mantri Jahan mati setelah ini, secara otomatis, dia akan diangkat menjadi Mantri Sakai selanjutnya.
Itulah karma karena telah berbuat curang.
Putri Junjung Buih maju beberapa langkah untuk mendekati Mantri Jahan. Rasa iri dan dengki memang mampu membuat seseorang menjadi lebih rendah dari binatang. Menjatuhkan harga dirinya sebagai manusia paling mulia menjadi makhluk paling nista.
Saat Putri berdiri tepat di samping kasur tempat Mantri Jahan berbaring, dia menyingkap kain yang menutupi kaki bengkak pria setengah baya tersebut. Kulit cokelatnya sudah berwarna biru keunguan dari ujung jari hingga ke lutut, bengkak seperti balon yang nyaris meletus.
Pantas saja Mantri dari Candi Laras datang ke istana. Dia pasti sudah merasa tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaannya sebagai Mantri Sakai karena kondisinya sekarang.
“Anakku, apa kau bisa membantunya?” ucap Raja Dipa melalui telepati. Mantri Jahan memang sudah mengutarakan kehendaknya untuk mundur dari jabatan, tapi Lambung Mangkurat menolak dalam hati. Tidak ada yang mampu menggantikan posisi Mantri Jahan di Candi Laras.
Putri Junjung Buih tidak menjawab, tidak juga berpaling untuk menghadap Lambung Mangkurat yang berada beberapa meter di belakangnya. Dia hanya diam sambil terus memandangi kaki dan tangan Mantri Jahan secara bergantian.
Paham apa yang ada di pikiran anaknya, Lambung Mangkurat melangkah untuk keluar dari ruangan tersebut, sambil membawa serta Patih Mandastana, meninggalkan Putri Junjung Buih dan Mantri Jahan.
Sering datang ke istana Kerajaan Dipa sejak Putri Junjung Buih berusia tiga tahun, Mantri Jahan tahu kalau Putri Dipa ini pernah belajar dan menjadi murid terbaik Tabib Leman. Dia pikir, saat Raja dan Patih Mandastana meninggalkannya, Putri Junjung Buih akan membuatkan atau memberikan ramuan obat untuknya.
Dia memang sudah menyerah untuk bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai Mantri Sakai. Lebih baik dia mundur daripada harus memaksakan diri, memperburuk keadaan. Namun, Mantri Jahan masih ingin hidup. Dia sudah berobat ke mana-mana, sayang, hasilnya nihil. Malah penyakitnya semakin parah.
Setitik harapan kembali muncul dalam benak Mantri Jahan. Dia tidak meminta apa pun untuk saat ini, cukup dengan sebuah kesembuhan. Jika dia sembuh, Mantri Jahan berjanji untuk terus mengabdikan diri pada kerajaan ini.
Mantri Jahan terkejut saat telapak tangan Putri Junjung Buih menyentuh punggung tangannya. Hanya sebentar, sebelum Putri Junjung Buih kembali berdiri tegap dan mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan tersebut.
Hari itu juga, Mantri Jahan kembali ke kediamannya, di Candi Laras. Mantri Jahan tidak membawa obat atau ramuan apa pun dari Kerajaan Dipa. Dia beranggapan, mungkin inilah akhir dari pengabdiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019