14

246 20 0
                                    

Sepanjang perjalanan, Mantri Jahan hanya melamun, memikirkan tentang apa yang harus ia lakukan di sisa kehidupannya. Usahanya untuk membangun negeri agar lebih baik, untuk berobat agar sembuh, sudah cukup banyak. Dia juga sudah mengatakan keinginannya untuk mundur dari jabatan, Raja pasti bisa mencari penggantinya setelah ini. Sedangkan istri dan anak-anaknya, lambat laun, mereka akan paham. Setiap ada awal, pasti ada akhir.

Mungkin, hal yang tidak sempat dia lakukan adalah berucap terima kasih pada Putri Junjung Buih. Setidaknya, Putri tidak menutup hidung atau meringis karena mencium bau busuk dari kaki dan tangannya, seperti kebanyakan orang. Terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri, Mantri Jahan dibuat terkejut karena panggilan prajurit yang membuka pintu tandunya.

Pria tua itu mengerutkan dahi saat melihat prajuritnya tercengang. Sudut matanya menangkap lingkungan sekitar, saat itu dia tahu kalau mereka sudah tiba di Candi Laras. “Kita sudah sampai,” ucapnya.

“Tuan ….” Prajurit tadi bersimpuh di depan pintu tandu yang sudah diletakkan di tanah, membuat Mantri Jahan semakin mengerutkan dari. “K-ka-ki Anda ….”

Reaksi tak wajar yang diberikan oleh prajurit tersebut membuat perasaan Mantri Jahan semakin kalut, takut kalau penyakitnya semakin parah karena perjalanan jauh. Namun, saat dia menarik kain yang menutupi kakinya dan mendapati pemandangan luar biasa di hadapannya, dia membelalak.

Mantri Jahan bertanya-tanya, rasa tak percaya menancap di benaknya, tapi dia juga tak bisa mendustakan sebuah bukti. Dia tahu kalau Putri Junjung Buih bisa membuat ramuan obat, Putri adalah murid terbaik Tabib Leman. Namun, Mantri Jahan tidak pernah menyangka kalau kekuatan Putri sebesar ini. Tubuhnya yang bengkak, pulih dalam waktu singkat.

Seminggu kemudian, Mantri Jahan kembali datang ke istana Kerajaan Dipa, tentu dengan kondisi yang berbeda 180 derajat. Jika kemarin dia harus dibopong untuk masuk ke balai pertemuan hingga ke ruang perawatan, sekarang Mantri Jahan bisa melenggang dengan kedua kakinya sendiri.

“Tanpa mengurangi rasa hormat hamba pada Baginda Raja, hamba membawakan beberapa perhiasan untuk Tuan Putri Junjung Buih, sebagai bentuk rasa terima kasih hamba pada Tuan Putri.”

Raja Lambung Mangkurat menarik senyum simpul, senang karena seseorang yang sejak dulu berjuang dengannya, kini kembali sembuh. “Terima kasih karena sudah bertahan dari penyakitmu, Mantri Jahan. Aku harap, setelah ini, kau bisa meneruskan pekerjaanmu. Aku tidak bisa menemukan seseorang sebaik dirimu.”

Mantri Jahan membungkuk, bentuk rasa hormatnya pada Raja. “Sudah kewajiban hamba untuk membantu Baginda Raja.”

“Nah. Untuk alasan itu, apa aku bisa meminta tolong?” ucap Lambung Mangkurat, membuat Mantri Jahan berpikir tentang apa yang Raja Dipa inginkan darinya.

“Sebuah kehormatan untuk hamba, Baginda.”

“Aku tidak bisa menerima seserahan yang kau berikan.” Ucapan Lambung Mangkurat berhasil membuat Mantri Jahan mengangkat wajah kaget. “Putri Junjung Buih tidak menyukai perhiasan … tapi sebagai gantinya, apa kau bisa membuat empat puluh jenis makanan dan membagikannya pada penduduk Candi Laras?”

Kabar kesembuhan Mantri Jahan menyebar ke seluruh kerajaan, bahkan lebih luas dari itu. Saat orang-orang bertanya padanya di mana dia berobat, Mantri Jahan menjawab kalau Putri Junjung Buih dari Kerajaan Dipa yang menyembuhkannya.

Rajin mangkal, kaya. Persaingan tak kasat mata pun di mulai. Orang-orang berdatangan, membawa sesembahan berharga untuk diserahkan pada Putri Junjung Buih, membuat rakyat kecil merasa semakin kecil, tak berani mendekat.

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang