23

212 19 1
                                    

Galuh Uwah mengangkat kepala, menoleh ke belakang, melihat dua orang yang baru saja masuk. Si pria menahan tangan wanita yang masih meronta sambil mengerang. Saat mereka tiba di depan Raja Dipa, Sukmaraga memaksa wanita tadi untuk duduk bersujud.

Melirik pada wanita yang kini berada di sampingnya, sontak saja Galuh Uwah berucap lebih nyaring daripada sebelumnya, "Hamba disuruh oleh Nyonya Nurmi, Yang Mulia Raja. Dia memberikan sekantong uang untuk tugas itu."

Raja, Permaisuri, bahkan Patih Mandastana terkejut bukan main saat mendengar pengakuan Galuh Uwah. Mereka tahu kalau Nyai Nurmi adalah istri dari seorang bangsawan yang dulu sempat datang ke istana untuk meminta tolong perihal Nyai Nurmi yang tidak kunjung hamil.

"Maafkan kelancangan hamba yang datang terlambat dan menyela di tengah sidang, Baginda Raja," ucap Sukmaraga, menarik perhatian seluruh orang di ruangan itu.

"Saat kami menangkap Nyai Nurmi di persembunyiannya dan menanyakan beberapa hal terkait penyelidikan, dia tidak menjawab sama sekali, dia hanya memberontak seperti ini, bahkan saat diancam sekalipun. Ketika kami lengah, tiba-tiba Nyai Nurmi mengambil racun yang ia simpan dan menenggaknya. Kami sempat mengeluarkan racun yang berada di mulutnya, tapi tetap saja racun itu membuat dia tidak bisa bicara lagi."

"Benar, Baginda Raja," sahut Patmaraga. "Atas alasan kecewa dengan penolakan Tuan Putri, Nyai Nurmi menyuruh Galuh Uwah untuk menukar ramuan obat yang dibawa Dayang Amba dengan racun."

Perkataan dari Patmaraga dan Sukmaraga berhasil membuat Nyai Nurmi bangkit dari posisinya, dia mengerang keras dan berusaha untuk menyerang Patmaraga maupun Sukmaraga. Hal tersebut membuat Patih Mandastana meminta beberapa prajurit untuk mengikatnya di sebuah kursi agar tidak mengamuk lagi.

Namun hal tersebut tidak membuat Galuh Uwah simpati. Dia hanya seorang pesuruh yang diiming-imingi duit. Dia tidak mau mati sendirian karena telah turut andil dalam kematian warga Muara Bahan. Oleh sebab itu, sebelum mereka tiba di istana, Galuh Uwah berkata pada Sukmaraga kalau dia hanya disuruh. Dia memberikan kain pembungkus wadah racun milik Nyai Nurmi pada Sukmaraga sebagai barang bukti.

Raja menatap Putri Junjung Buih yang masih melihat persidangan dengan wajah datar, hanya menonton. Paham kalau Putri tidak akan berniat untuk ikut campur, Raja akhirnya memanggil hakim kerajaan dan Patih Mandastana untuk berdiskusi.

"Atas tindakan pembunuhan berencana terhadap penduduk Muara Bahan untuk membalas dendam pada anggota keluarga kerajaan, dengan ini Nyai Nurmi akan mendapatkan hukuman ... mati."

Vonis dari Raja Lambung Mangkurat seketika membuat Nyai Nurmi semakin meronta, mengamuk untuk melepaskan diri. Bibirnya bergerak, seolah sedang mengatakan sesuatu, tapi yang didengar oleh semua orang hanyalah erangan tak jelas.

Nyai Nurmi tahu kalau racun itu bisa membunuhnya secara perlahan, kalaupun dia tidak dihukum mati, dia tetap akan mati jua akhirnya. Namun, sungguh, Nyai Nurmi ingin mengutarakan apa yang dia ketahui pada semua orang yang hadir di tempat ini.

Tubuh Galuh Uwah bergetar, takut, kalau dia juga akan mendapatkan nasip yang sama. Dia hanya ingin bertahan hidup. Galuh Uwah sadar kalau dirinya bukanlah orang yang baik, dia tidak telaten dalam mengerjakan sesuatu, mudah tersinggung dengan perkataan saudagar tempatnya bekerja, dia juga hanya bekerja saat sudah tak mampu makan lagi, bahkan beberapa kali mencuri. Namun, dia masih ingin hidup.

Gajah berak besar, kancil pun hendak berak besar, akhirnya mati kebebangan. Galuh Uwah tidak ingin bernasip seperti itu, walaupun sebenarnya, dia sudah nyaris mati kebebangan karena menginginkan uang dengan cara yang mudah. Seperti para orang kaya yang hanya duduk di rumah atau hanya berjalan-jalan mengawasi jualan.

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang