Ada ubi ada talas, bertemu di penggorengan juga. Apa pun yang dilakukan manusia di dunia ini, pasti akan mendapatkan balasan. Begitu juga dengan Galuh Uwah. Meskipun dia hanya seorang pesuruh, pengantar, wanita yang hanya menginginkan uang dengan cara mudah.
“Karena kau hanya seorang pengantar, tapi kau tetaplah penyebab dari kejadian naas ini. Galuh Uwah, untuk menebus segala dosamu terhadap para korban dan keluarga korban, maka kau akan dihukum penjara selama sepuluh tahun.”
Nyai Nurmi dipapah menuju tempat eksekusi oleh dua orang prajurit, sementara Galuh Uwah dibawa ke penjara. Hakim kerajaan juga sudah pergi setelah kedua pelaku digiring keluar.
Saat Permaisuri dan Patih Mandastana berdiri, siap untuk keluar dari balai utama kerajaan, Patmaraga menghentikan mereka.
“Hamba memohon ampun sebelum mengatakan hal ini, Yang Mulia,” ucap Patmaraga. “Sebelum hamba dan Sukmaraga pergi untuk menyelesaikan kasus kematian di Muarah Bahan, kami pernah meminta sebuah hadiah kalau kami berhasil menyelesaikan perkara ini.”
Patmaraga memang berucap dengan kepala ditundukkan, tapi Patih Mandastana mampu menangkap nada menuntut dari setiap kalimat yang dilontarkan oleh sang anak. Dalam hati, Patih Mandastana malu karena anak yang selama ini dia didik, malah bersikap tidak pantas pada rajanya.
“Jikalau kami berhasil menyelesaikan kasus ini, maka Yang Mulia harus menerima pinangan salah satu dari kami untuk Putri Junjung Buih,” sambung Patmaraga kemudian, menegaskan tentang hadiah apa yang mereka inginkan.
Raja Lambung Mangkurat terkekeh, menanggapi perkataan keponakannya. Untuk beberapa detik, dia melihat ke arah Putri Junjung Buih yang masih duduk di tempatnya.
"Putriku, bagaimana keputusanmu?" tanya Lambung Mangkurat. Kali ini dia tidak bicara melalui telepati seperti biasanya, tapi berucap langsung agar semua orang yang berada di ruangan tersebut mendengar.
Putri Junjung Buih menatap sang ayah, Ratu Kuripan, dan Permaisuri secara bergantian. Semua orang yang tinggal di istana tahu, hanya Raja Lambung Mangkurat yang mampu berkomunikasi dengan Putri.
"Patmaraga, Sukmaraga," panggil Lambung Mangkurat. "Putri Junjung Buih sangat menghargai apa yang telah kalian lakukan, menangkap pelaku pembunuhan bahkan sampai ke akarnya."
Patmaraga dan Sukmaraga menarik senyum, sudut mata mereka sama-sama melirik pada Putri yang masih menatap Raja di depan sana. Saat ini, hanya suara Lambung Mangkurat dan sosok Putri yang memenuhi perhatian mereka, tidak lagi peduli dengan orang lain di ruangan tersebut.
"Karena alasan itulah, Putri Junjung Buih tidak merasa berhak memilih," sambung Raja Dipa. Kalimat tersebut berhasil membuat pandangan kedua saudara kembar itu beralih pada raja mereka.
"Daripada memilih, Putri ingin kalian yang memutuskan. Siapa dari kalian yang akan meminang Putri Junjung Buih?"
Lambung Mangkurat menarik senyum pada Putri Junjung Buih. Dia mau memberikan kesempatan untuk kedua keponakannya, bukan langsung menolak seperti kejadian sebelumnya.
Sementara kedua saudara kembar itu memproses maksud dari ucapan Raja, Patih Mandastana mulai merasakan aura yang berbeda di dalam ruangan itu.
"Kalian bisa berdiskusi untuk memutuskan siapa yang akan secara resmi melamar Putri. Kalaupun dirasa tidak adil, kalian bisa adu berkuda atau adu memanah."
Kali ini, Ratu Kuripan memejamkan mata sambil menghela napas. Dia tidak lagi melirik Putri Junjung Buih yang duduk di sampingnya. Sekarang, Ratu Kuripan hanya perlu meyakinkan diri, kalau ini adalah keputusan yang terbaik. Apa yang dilakukan Putri, semata-mata untuk kesejahteraan semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019