“Dayang Amba belum tahu kalau dirinya terseret dalam kasus ini.” Itulah yang didapatkan oleh Putri Junjung Buih saat dia menggunakan kekuatannya untuk mengetahui apa yang terjadi di istana dan negeri tempatnya tinggal.
“Benar,” jawab Ratu Kuripan. “Raja Dipa meminta pada seluruh pihak yang terlibat dalam penyelidikan ini untuk tutup mulut sebelum keputusan akhir diambil.”
“Dan karena itu, Patmaraga dan Sukmaraga akan mengajukan diri untuk mengusut kasus ini lebih dalam lagi.”
Ratu Kuripan membenarkan. Patmaraga dan Sukmaraga. Nama dua saudara kembar anak dari Patih Mandastana. Dua laki-laki yang sejak dini dibekali ilmu kesatriaan oleh sang ayah demi berbakti pada negeri.
Putri Junjung Buih dan dua saudara kembar itu memang tidak terlalu sering bertemu, mereka terbiasa berada di wilayah pertahanan atau pelatihan saja. Datang ke istana hanya untuk bertemu dengan Patih Mandastana atau Raja Lambung Mangkurat.
“Apa yang akan kau lakukan? Mereka mengambil keuntungan dari kejadian ini.”
Putri Junjung Buih bangkit dari tempat duduknya, lalu berucap, “Mereka akan menjemputku esok, ‘kan? Aku akan ikut dengan mereka.” Setelah menundukkan kepala sebagai tanda hormat, Putri beranjak dari kamar Ratu Kuripan.
“Aku akan meminta Patih Kerang untuk mengikuti kalian.” Ratu Kuripan mempersilakan Putri untuk kembali ke ruangannya tanpa menyahuti perkataannya barusan.
Mungkin benar kata peribahasa, daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan eek di negeri sendiri. Buktinya, Putri siap kembali ke istananya saat tahu kalau dia akan mengumpankan diri ke dalam sebuah masalah.
Keesokan harinya, seperti yang telah diketahui oleh Putri dan Ratu, dua bersaudara kembar itu datang ke istana Kerajaan Kuripan bersama dua pengawal tambahan.
“Patmaraga, Sukmaraga. Suatu kehormatan kalian mau berkunjung ke istanaku.” Ratu Kuripan menyambut kedua pangeran dengan bibir mengukir senyum. “Ada keperluan apa sehingga Pangeran datang tanpa pemberitahuan?”
Patmaraga membungkukkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan pada Ratu Kuripan yang tengah duduk di singgasananya, sedang Sukmaraga hanya turut melakukan apa yang dilakukan oleh kakaknya.
“Maafkan kedatangan hamba yang terlalu mendadak dan cukup lancang, Baginda Ratu. Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Raja Dipa untuk menjemput Tuan Putri Junjung Buih dan mengawalnya kembali ke istana,” jelas Patmaraga tanpa keraguan sedikitpun.
Laporan yang diberikan oleh Patmaraga dan Sukmaraga tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dia ketahui. Untuk itu, Ratu Kuripan mengizinkan mereka membawa Putri Junjung Buih untuk kembali ke Kerajaan Dipa lebih cepat dari biasanya.
Tepat setelah tengah hari, rombongan Putri Junjung Buih beserta dua bersaudara kembar tadi berangkaat meninggalkan Kerajaan Kuripan. Ratu berkata pada Patmaraga dan Sukmaraga kalau dia akan menyusul sesegera mungkin.
Tidak ada hal meranik selama mereka berada di perjalanan. Hanya obrolan kakak-beradik yang menjelaskan situasi kerajaan dan wilayah Muara Bahan saat ini, penjelasan yang cukup mengganggu pendengaran sang Putri.
Tiba di istana Kerajaan Dipa, bukannya menemui Lambung Mangkurat yang masih berada di balai pertemuan dengan Patih Mandastana dan hakim kerajaan, Putri Junjung Buih malah memilih untuk langsung pergi ke ruangan pribadinya.
Putri memang sudah menduga, cepat atau lambat, Patmaraga dan Sukmaraga pasti akan bersinggungan langsung dengannya. Bersikap seolah mereka adalah saudara terbaik yang membaktikan diri sebagai pahlawan negeri. Namun di balik sikap itu, mereka sama-sama bersiap untuk meraup keuntungan dari kejadian ini seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Fiksi SejarahAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019