Tidak banyak yang tahu tentang kepergian Raja Dipa ke luar kerajaan untuk bertapa. Hanya beberapa pengawal istana dan Datuk Pujung yang tahu, selain itu ada Patih Mandastana, juga Permaisuri.
Para pejabat istana dan pejabat daerah sempat menanyakan keberadaan Raja Dipa, tapi Patih Mandastana hanya menjawab kalau Raja mereka sedang berada di kediaman Ratu Kuripan untuk urusan kerajaan.
Sebelum berkata demikian, Patih Mandastana juga sudah meminta izin pada sang Baginda Ratu. Dia tidak ingin ada pemberontakan selama Raja Dipa tidak berada di kerajaan. Menjadikan Ratu Kuripan sebagai alasan adalah pilihan terbaik. Sebagian pejabat yang merasa memiliki harta yang sangat banyak hanya memandang Ratu Kuripan sebagai petinggi kerajaan.
Tepat di hari ke empat puluh, Datuk Pujung dan para pengawal tiba di Ulu Banyu, tempat Lambung Mangkurat bertapa. Ketika sang Raja keluar dari tempat pertapaan, terjadi banyak perubahan pada tubuh beliau. Kulit kusam, rambut berantakan, kumis dan jambang yang tumbuh semakin panjang, juga beberapa kotoran hewan yang menempel di tubuh seorang raja.
Datuk Pujung segera membawa Lambung Mangkurat menuju sungai yang terletak tak jauh dari tempatnya bertapa, kemudian memberikan pakaian bersih pada sang Raja. “Terima kasih,” ucap Lambung Mangkurat.
Inilah yang disukai oleh penduduk dalam pembawaan Lambung Mangkurat. Dia menghargai apa pun yang dilakukan oleh orang lain untuknya. Jika Raja terdahulu lebih sering melakukan suatu hal untuk membantu rakyat, Lambung Mangkurat lebih baik dalam berinteraksi secara verbal.
“Bagaimana kerajaan selama aku pergi?”
“Baik-baik saja. Patih Mandastana menangkap beberapa penjahat lagi, termasuk Mantri Sakai di Daha yang mengambil uang sewa dan keamanan secara ilegal.”
Sambil menyusuri tepian sungai setelah membersihkan diri, Lambung Mangkurat dan Datuk Pujuh berbincang mengenai kejadian apa saja yang telah ia lewatkan di kerajaan. Ah, Lambung Mangkurat juga merindukan kedua keponakannya. Mereka pasti sudah cukup besar sekarang.
“Permaisuri sering berkunjung ke kediaman Patih Mandastana untuk bertemu mereka. Sepertinya—”
“Datuk Pujung,” panggil Lambung Mangkurat, matanya membelalak saat melihat sesuatu sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang, “ada bayi di dalam keranjang itu.”
Sontak si tetua istana mengikuti arah pandang Lambung Mangkurat dan ikut membelalak sesudahnya. “Benar, Yang Mulia.”
Dalam hitungan detik, mereka segera berlari menghampiri keranjang yang terbuat dari paikat kayu. Tadi, Lambung Mangkurat melihat tangan bayi yang bergerak dari dalam keranjang, hal itu membuatnya terkejut dan memotong ucapan Datuk Pujung.
Ketika Lambung Mangkurat berdiri di tepi sungai, sekitar satu dua meter dari keranjang berisi bayi tadi, rasa kasihan seketika merayapi setiap inci hati sang Raja. Gajah berhati, kuman pun berhati juga, apalagi seorang manusia. Meski dia masih bayi, tetap saja memiliki perasaan.
Bagaimana mungkin seseorang meninggalkan bayi secantik ini di sungai. Rasa kasihan yang tasi menyerang Lambung Mangkurat semakin dalam saat menyadari kalau bayi itu tidak mengenakan apa pun. Dia hanya diletakkan begitu saja di atas keranjang.
“Datuk Pujung ….”
“Ya, Yang Mulia.” Datuk Pujung menoleh, menatap sang Raja yang terpaku pada bayi berkulit putih di atas riak air sungai.
Lambung Mangkurat diam, tidak menyahut saat kepalanya berpikir. Dia hanya memerhatikan bayi yang seolah sedang memerhatikannya juga. “Datuk Pujung, bagaimana kalau aku membawa pulang bayi ini? Bisa saja dia meninggal kalau kita tidak menolongnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019