Walaupun Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana adalah saudara, mereka jelas dua orang berbeda. Lambung Mangkurat berada jauh di atas Empu Mandastana. Dari segi kecerdasan, kekuasaan, dan peruntungan. Namun kali ini, Empu Mandastana menjelma bagai cacing menelan naga. Secara tidak langsung, mereka menginginkan keturunan di waktu yang hampir bersamaan, tapi kali ini, si adiklah pemenangnya.
Lambung Mangkurat tidak menampik, dia iri. Dia juga menginginkan apa yang telah diberikan pada Empu Mandastana. Akan tetapi, Lambung Mangkurat bukan manusia licik yang akan menghancurkan kebahagiaan orang lain.
Raja dari Kerajaan Dipa tersebut semakin giat dalam memanjatkan doa, diselingi dengan memberikan kemudahan untuk rakyatnya. Lambung Mangkurat ingat kalau dulu, Ratu Kuripan pernah bercerita bahwa kerja keras dan ketulusan Empu Jatmika yang membuat beliau bisa menjadi seorang raja. Posisi yang tidak mungkin dimiliki oleh seorang pedagang kecil.
Atas dasar itulah Lambung Mangkurat berusaha untuk menjadi seperti Empu Jatmika, setidaknya melakukan apa yang ayahnya lakukan dulu.
Waktu berjalan cepat, Lambung Mangkurat disibukkan dengan urusan perdagangan Kerajaan Dipa, berpusat di daerah Daha. Saat kabar bahagia atas kelahiran putra kembar Patih Mandastana datang, Raja Dipa dan Permaisuri segera pergi ke kediaman adik mereka.
Dibandingkan Permaisuri, Raja terlihat lebih antusias. Kedua bayi itu baru saja tidur setelah menyusu pada ibunya, tapi dengan tidak sabar, Raja menimang mereka bergantian. Mencium kedua pipi dan dahi calon kesatria-kesatria Kerajaan Dipa,
Melihat hal tersebut, Empu Mandastana menarik senyum simpul. Berusaha untuk tidak terlihat mengasihani sang kakak, karena ia tahu, kalau kakaknya juga menginginkan keturunan seperti dirinya. Empu Mandastana juga mengetahui hal ini dari sang istri, setelah kedua wanita itu bercengkrama.
“Siapa nama mereka?”
Empu Mandastana berdiri dari sisi istrinya, lalu menjawab pertanyaan Lambung Mangkurat, “Patmaraga, nama bayi di gendongan Yang Mulia Raja. Sedangkan yang ada di gendongan Permaisuri adalah Sukmaraga.”
Andai saja diperbolehkan, ingin sekali Lambung Mangkurat membawa satu dari dua anak Empu Mandastana ke kediamannya, hanya untuk satu malam. Berharap agar hal tersebut bisa mengobati perasaannya. Akan tetapi, Raja tidak boleh egois. Adiknya tengah berbahagia, dia tidak bisa merusak kebahagiaan itu.
Hingga sang Raja beranjak tidur, dalam hati, Lambung Mangkurat berucap bahwa dia tidak harus memiliki dua anak laki-laki. Cukup satu anak saja. Kalau dia tidak bisa mendapatkan anak laki-laki, anak perempuan pun boleh. Lambung Mangkurat hanya ingin merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Empu Mandastana.
“Bertapalah di luar Candi Agung, selama 40 hari, 40 malam.”
Esoknya, Lambung Mangkurat segera pergi menuju kediaman Ratu Kuripan. Dia bercerita kalau tadi malam, saat dia tidur, ada suara yang mengatakan padanya untuk bertapa. Suara itu sangat nyata, seperti ada seseorang yang bicara tepat di depan telinganya.
Mendengar penuturan Lambung Mangkurat, Ratu Kuripan mengangguk paham. “Bertapalah di Ulu Banyu. Bawa beberapa pengawal dan Datuk Pujung saat kau berangkat, lalu suruh mereka menjemputmu setelah pertapaan genap.”
Lambung Mangkurat memberikan tatapan bingung, membuat sang Ratu terkekeh pelan. “Anggap saja itu salah satu petunjuk atas upaya yang telah kau lakukan selama ini. Setelah pertapaanmu selesai, kita lihat, apa hasil yang akan kau bawa pulang.”
Kembali dari kediaman Ratu Kuripan, Lambung Mangkurat segera meminta tetua istana, Datuk Pujung, agar mempersiapkan pertapaannya. Untuk sementara, pemerintahan akan diambil alih oleh Patih Mandastana dan Permaisuri sebagai pengawasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Historical FictionAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019