Tanpa Lambung Mangkurat ketahui, sebenarnya Patih Mandastana sudah lebih dulu bertemu dengan Ratu Kuripan. Bukan untuk membahas tentang Tanah Amuntai, tapi memang karena dia dan sang istri menginginkan kehadiran buah hati.
Sama seperti yang dikatakan pada Lambung Mangkurat, beliau juga berkata pada Patih Mandastana bahwa dia harus berdoa. “Panjatkan doa tulus pada Sang Pemilik Kehidupan. Mintalah keturunan yang baik, yang akan membawamu pada kebahagiaan. Mintalah buah hati yang akan menjadi cahaya kehidupanmu.”
Patih Mandastana sangat menginginkan dua anak kembar, laki-laki. Dia ingin mengajari kedua anaknya cara memanah, menaiki kuda, dan menjadi percontohan seperti ayahnya dulu, Raja Dipa. Pria yang begitu memesona saat menjadi tauladan untuknya dan Lambung Mangkurat.
Walaupun mereka terus saja disibukkan dengan urusan kerajaan dan beberapa pertemuan dengan penguasa lain, tapi kedua kakak-beradik ini tidak pernah lupa untuk berdoa.
Saat Patih Mandastana pergi selama beberapa hari untuk menyelidiki tentang padi matang milik warga yang sengaja dibakar orang di sawah, sebuah kabar membuat adik dari Raja Dipa kedua itu kembali ke kerajaan secepat mungkin.
Istri Patih Mandastana memang tidak secantik Permaisuri Dipa, dia bagai belut diregang. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, wanita yang berhasil memikat hati Patih dari Kerajaan Dipa itu sakit-sakitan, tubuhnya semakin kurus.
Hal yang membuat Patih Mandastana segera berlari dari daerah persawahan adalah kabar kalau sang istri pingsan setelah mandi. Perasaan campur aduk, takut terjadi apa-apa pada sang istri, membuat sang Patih semakin tidak tenang saat di perjalanan.
Ketika tiba di kediamannya, Raja Dipa—Lambung Mangkurat—memberinya sebuah pelukan hangat. “Temui dia di halaman belakang. Dia bersama Permaisuri, melihat danau.”
Patih Mandastana hanya menjawab dengan anggukan. Dia segera menuju dapur dan melihat kedua saudara ipar itu tengah duduk di pelataran sambil bercengkrama. Rasa lega karena melihat wanita tercinta sudah bisa tertawa bersama Permaisuri, cukup mengurangi kekhawatiran yang tadi merayap di hati. Saat dia mendekati kedua wanita itu, Permaisuri pamit undur diri.
“Abang ….” Sebutir air mata lolos dari mata jernih istri Patih Mandastana, bersamaan dengan itu, sebuah pelukan menjadi tempat di mana air mata lainnya turut tumpah. “Doa kita terkabul. Sang Kuasa mengabulkan permintaan kita. Kita akan menjadi orang tua, Bang.”
Kali ini, bukan hanya sang istri, Patih Mandastana pun turut meneteskan air mata kebahagian. Harapan yang selama ini mereka inginkan, doa yang mereka panjatkan, dijawab dengan sejuta kebahagiaan.
Kabar tentang kehamilan istri dari Patih Mandastana seketika menyebar ke seluruh kerajaan. Para penduduk memanjatkan doa untuk keselamatan dan berkah pada keluarga Patih Mandastana. Sedangkan Ratu Kuripan meminta beberapa tabib di istana untuk membuatkan jamu dan meminta beberapa pengrajin kain untuk membuatkan pakaian.
“Aku berjanji akan menjaga kalian. Aku akan menjadi orang pertama yang akan berkorban untuk kalian, menjadi ayah yang selalu mendukung setiap kebaikan yang kalian lakukan.”
Patih Mandastana berbahagia. Selama kehamilan istrinya, dia semakin giat berdoa. Dia menginginkan anak kembar, laki-laki. Dua pria yang akan tumbuh menjadi kesatria-kesatria tak terkalahkan. Menjadi kebanggaan Kerajaan Dipa.
“Apa setelah ini Abang akan pergi ke persawahan lagi?”
Patih Mandastana menggeleng. “Aku meminta Mantri Sakai untuk mengurusnya. Setidaknya, aku akan tetap berada di sampingmu sampai kau lebih sehat.”
Senyum manis si wanita tinggi kurus menular pada Patih Mandastana. Perasaan khawatir yang tadi pagi menggelayut, kini berubah menjadi kebahagiaan tiada tara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Junjung Buih
Narrativa StoricaAkulturasi April Pseudonyme Community Putri Junjung Buih yes_yez April 2019