22

213 19 0
                                    

Persis seperti gaharu dibakar, kemenyan berbau, Patmaraga menegaskan kalau Galuh Uwah adalah pelaku dari peristiwa kematian di Muara Bahan.

“Para saksi menyebutkan ciri-ciri wanita asing yang masuk ke rumah korban mengarah pada Dayang Amba. Mereka memang benar, tapi Dayang Amba saat itu mengantarkan ramuan obat milik Putri Junjung Buih,” jelas Patmaraga, “benar, ‘kan, Tuan Putri?”

Patmaraga sengaja menarik perhatian Putri Junjung Buih, seolah berkata bahwa dirinya tahu apa kegiatan Putri selama ini. Sayangnya, dia tidak mendapatkan tanggapan apa pun.

“Saat kami melakukan penyelidikan ke rumah Anang Alus, walaupun ibu korban awalnya menolak, setelah diberi pengertian, akhirnya dia berkata kalau saat dia masuk ke rumah, posisi Galuh Uwah sudah berada di dekat kasur anaknya,” sambung Patmaraga cepat, mengambil kesempatan untuk menonjolkan diri.

Ibu dari Anang Alus--pria yang memotong kayu di belakang rumah saat Dayang Amba tiba--diajak untuk datang ke istana, berharap kematian tak wajar anaknya dikuak. "Benar, Baginda Raja. Hamba bahkan sempat melihat Galuh Uwah meraih botol obat Anang Alus," jelas si ibu. "Meskipun hamba tidak pernah menduga kalau saat Galuh Uwah menanyakan tentang penyakit kuning anak hamba adalah alasan semata."

Seluruh perhatian tertuju pada wanita muda bertubuh kecil, berkulit cokelat. Dia tidak bergerak sama sekali. Wajahnya kaku, bibir terkatup, rahang mengeras.

"Seorang saksi juga berkata bahwa dia melihat Galuh Uwah berkunjung ke rumah Nenek Jamrah, wanita yang keesokan harinya meninggal akibat keracunan."

Patmaraga yang sedari tadi menatap pada petinggi kerajaan secara bergantian, kini balik menatap Galuh Uwah yang sedang melotot padanya.

"Atas kejahatan tersebut," Patmaraga memutus kontak mata dengan si pelaku kejahatan, kembali menatap ke depan, "hamba ingin Galuh Uwah dihukum mati."

Mendengar hukuman apa yang akan diterimanya, Galuh Uwah sontak membelalakkan mata, menggeleng tak terima.

Hukuman mati untuk pelaku pembunuhan tidaklah tabu. Nyawa dibayar dengan nyawa. Apalagi untuk kasus ini, Galuh Uwah membunuh tujuh penduduk di Muara Bahan.

Namun, wanita itu tidak bisa menerima hukuman yang tidak pantas diberikan padanya.

"Yang Mulia--

Panggilan lantang Galuh Uwah terhenti saat punggung lehernya merasakan ujung lancip pedang milik Patmaraga.

"Lancang! Kau mau menyela sidang ini?!" Kali ini ucapan lantang Patmaraga mengisi balai utama kerajaan.

Melihat apa yang Patmaraga lakukan pada wanita tersebut, membuat Lambung Mangkurat mengingat ucapan Putri Junjung Buih tentang keterlibatan kedua keponakannya pada peristiwa mengenaskan ini.

"Patmaraga, biarkan dia bicara," ucap Raja Dipa akhirnya.

"Mohon ampun, Yang Mulia." Tanpa menunggu Patmaraga menarik pedang dari lehernya, Galuh Uwah sudah menunduk, meletakkan dahi ke lantai untuk bersujud.

"Hamba hanya menuruti perintah seseorang untuk memberikan racun-racun itu," jelasnya.

"Hamba butuh uang untuk hidup dan orang itu memberikan uang untuk hamba dengan syarat kalau hamba harus memberikan ramuan-ramuan itu. Hamba bahkan tidak tahu kalau itu adalah racun, Yang Mulia."

Galuh Uwah membela diri saat Lambung Mangkurat memberikannya waktu untuk bicara, dia bahkan tidak sempat menarik napas.

"Siapa yang menyuruhmu?" Kali ini yang bertanya adalah Patih Mandastana.

"Aku ... ampuni hamba, Yang Mulia," ucapnya lagi. "Hamba tidak tahu siapa dia, tapi hamba yakin bisa mengenali rupanya."

Selesai mengucapkan kalimat itu, pintu balai utama kerajaan diketuk. Dari luar, Sukmaraga masuk bersama seorang wanita yang masih meronta-ronta.

"Apakah wanita ini yang menyuruhmu melakukannya?"

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang