26

213 20 1
                                    

Tangan kanan Patmaraga terangkat guna menghentikan ucapan Sukmaraga. “Aku tahu maksudmu, sayangnya, bukan hanya kau yang bekerja dengan tenaga dan pedangmu itu. Dua pengawal kita juga melakukannya.”

“Kau pikir siapa yang memimpin mereka untuk menjalankan tugasmu?!” Teriakan lantang Sukmaraga semakin membuat kerutan di dahi Patmaraga bertambah.

Sukmaraga mendengkus kesal. Pembicaraan mereka tidak akan bisa selesai, hanya berputar-putar pada hal yang sama. Sambil mencabut pedang dan menodongkannya pada Patmaraga, Sukmaraga berucap, “Lebih baik kita akhiri dengan adil. Siapa yang lebih kuat, dia yang menang.”

Patmaraga mengeraskan rahang, turut menarik pedang dari sarungnya, sedetik kemudian, dia sudah menyabetkan pedangnya ke arah Sukmaraga, tapi serangan itu berhasil ditahan. Dentingan pedang saling beradu. Ketika Patmaraga lebih banyak melakukan serangan, Sukmaraga hanya melakukan pertahanan dan beberapa kali membalas serangan.

Jika dibandingkan, kemampuan Patmaraga dalam berpedang berada di bawah Sukmaraga. Dalam misi, Patmaraga lebih sering menjadi orang di belakang layar daripada kemampuan berpedangnya. Oleh karena itulah, walaupun Partmaraga berkali-kali melayangkan sabetan dan tusukan pada Sukmaraga, tapi si adik hampir selalu berhasil untuk menangkis maupun menghindar.

Ada laga sekandang. Mendengar pertengkaran kedua anaknya, tak ada lagi kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan Patih Mandastana sekarang. Kedua anak yang sangat dia bangga-banggakan, para kesatria yang ia didik sejak kecil, kini malah menjadi malapetaka. Ketakutannya terbukti, bahkan jauh lebih menyakitkan.

Melihat kedua anaknya saling adu pedang seolah mereka akan saling bunuh, Patih Mandastana mengepalkan tangan. Mereka harus dihentikan sebelum terjadi pertumpahan darah. Ketika Patih Mandastana melangkahkan kaki, tangannya dicekal oleh Raja Lambung Mangkurat.

“Adikku,” panggil Lambung Mangkurat dengan suara pelan, “kita tidak bisa menghentikan mereka.”

Patih Mandastana mengerutkan kening saat mendengar ucapan sang kakak, tapi dia tidak menjawab, menunggu Lambung Mangkurat menjelaskan lagi. “Sekarang, mereka sedang memenuhi takdir mereka. Akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi hari ini. Takdir menyakitkan yang akan pernah kita inginkan, tapi harus terjadi.

“Kalau mereka tidak mati hari ini, di masa depan, mereka akan menghancurkan Kerajaan Dipa. Bukan hanya aku, tapi kau, juga seluruh rakyat kita.” Lambung Mangkurat mengeratkan pegangan tangannya di lengan si adik. “Menyakitkan karena aku—kau—harus mengorbankan kedua anakmu untuk negeri. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu hanya menjaga nama baik mereka. Tidak akan ada orang yang mengetahui kejadian ini, hanya kita.”

“Mereka anakku, Kakak,” ucap Patih Mandastana. Dia mengalihkan perhatiannya pada Patmaraga dan Sukmaraga yang masih saling serang.

“Keputusan ada di tanganmu. Mereka akan tetap menjadi kesatria Kerajaan Dipa atau orang yang akan menghancurkan negeri ini.” Lambung Mangkurat melepaskan tangan Patih Mandastana. Saat pria yang lebih muda darinya itu perlahan melangkah meninggalkannya, Lambung Mangkurat hanya bisa pasrah.

Lambung Mangkurat juga sangat menyayangi Patmaraga dan Sukmaraga. Dia harus menelan rasa kecewa karena kelakuan kedua keponakannya itu. Kesatria-kesatria yang ia harapkan bisa menjadi pelindung negeri, malah mengatur rencana dengan sedemikian rupa untuk membunuh warganya sendiri dan bersikap seolah pahlawan untuk meminang putrinya.

“Seharusnya kau berterima kasih padaku,” ucap Patmaraga saat berada beberapa meter dari jangkauan Sukmaraga, “kalau bukan karena aku, wanita itu pasti sudah mengadukan hal sebenarnya pada Raja.”

“Banyak omong!”

Sukmaraga melangkah cepat sambil mengayunkan pedangnya pada si kakak. Patmaraga mungkin mampu menepis pedang milik Sukmaraga, tapi dia tidak mampu memprediksikan serangan lain. Ketika Patmaraga mundur, tanpa membuang waktu, Sukmaraga langsung menusukkan pedangnya ke perut Patmaraga.

Cairan merah perlahan mulai keluar saat pedang tadi ditarik dari tubuh sang kakak. Belum puas dengan sebuah tusukan, Sukmaraga menebas tubuh Patmaraga yang masih mematung karena terkejut.

Percikan cairan merah berhasil mengenai tangan Sukmaraga. Namun, saat melihat kakaknya ambruk ke tanah, bukannya bersedih, dia malah tertawa. Sadar kalau dia adalah pemenang. Dialah yang akan menjadi suami dari Putri Junjung Buih.

Tak ada lagi namanya ikatan darah. Fakta bahwa dua saudara kembar itu pernah berbagi rahim yang sama, hilang tak berbekas. Demi mencapai tujuan, mereka tega saling membunuh.

Tawa bahagia tercetak jelas di wajah Sukmaraga. Dia masih tidak mengalihkan pandangannya, tetap menatap sosok Patmaraga yang tengah merenggang nyawa, mengejang dengan mata membelalak.

Rasa senang itu membuat Sukmaraga tidak sadar kalau seseorang tengah berjalan ke arahnya dengan langkah cepat. Saat orang tersebut tiba di depan Sukmaraga, dia segera melayangkan pedang miliknya untuk memenggal leher Sukmaraga.

“Daripada negeri ini hancur karena anak-anakku, lebih baik aku yang lebih dulu menghancurkan kalian.”

Dalam hitungan detik, tubuh Sukmaraga jatuh dengan darah mengucur. Tepat setelah ambruknya Sukmaraga, pedang berlumur darah yang ada di tangan pria tadi terlepas, lalu dia ambruk ke tanah.

Putri Junjung BuihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang